Archive for April 2013

Semua Telah Ditakdirkan



 sudah-taqdir“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (al-Qamar: 49-50)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
“Segala sesuatu.”
Mayoritas qurra’ (ahli qiraah) membacanya dengan (كلَّ) yang di-fathah. Adapun Abu Sammal membacanya dengan marfu’/di-dhammah (كلَُ) sebagai mubtada. (Fathul Qadir karya asy-Syaukani, 5/171, Tafsir al-Qurthubi, 20/105)
“Menurut ukuran.”
Ibnu Athiyah berkata, “Yang dimaksud takdir sesuatu adalah membatasi sesuatu dengan tempat, waktu, ukuran, dengan kemaslahatan dan ketelitian.” (Adhwa’ul Bayan, asy-Syinqithi, 6/8)
“Seperti kejapan.”
Asal makna lamh adalah melihat dengan tergesa-gesa dan cepat. Dalam kamus ash-Shihah disebutkan, lamaha artinya melihat dengan pandangan yang ringan. (Tafsir al-Qurthubi)
Sebab Turunnya Ayat
Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (no. 2656) dari hadits Abu Hurairah radiallohu anhu  ia berkata, “Kaum musyrikin Quraisy datang untuk mendebat Rasulullah n dalam masalah takdir. Turunlah firman-Nya:
Pada hari mereka diseret dalam neraka di atas muka mereka (dan dikatakan), “Rasakanlah sentuhan api neraka. Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir.” (al-Qamar: 48—49)
Tafsir Ayat
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menetapkan adanya takdir Allah k. Ayat-ayat lain yang menetapkan adanya takdir adalah sebagai berikut.
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqan: 2)
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, kandungan rahim yang kurang sempurna, dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (ar-Ra’d: 8)
“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (al-A’la: 3)
Masih banyak lagi ayat-ayat yang menetapkan adanya takdir Allah subhaanahu wata’aala,.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahulloh berkata, “Oleh karena itu, para imam Ahlus Sunnah berdalil dengan ayat ini untuk menetapkan takdir Allah subhhanahu wata’aala, yang telah mendahului penciptaannya, yaitu ilmu Allah subhhanahu wata’aala, terhadap segala sesuatu sebelum terjadinya, dan bahwa segala sesuatu telah tertulis (di Lauhul Mahfuzh) sebelum Dia menciptakannya. Mereka menjadikan ayat ini dan ayat-ayat Allah k semisalnya yang semakna dengannya serta hadits-hadits yang sahih sebagai bantahan terhadap kelompok Qadariyah yang muncul pertama kali pada masa-masa akhir sahabat g.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/268)
Al-Alusi rahimahullohu  berkata menjelaskan ayat ini, “Yaitu ditakdirkan dan ditulis Lauhul Mahfuzh sebelum terjadinya, takdir dengan makna yang masyhur, yaitu ketetapan. Memaknai ayat ini dengan pemahaman tersebut telah diriwayatkan dari banyak ulama salaf.” (Ruhul Ma’ani, 27/93)
Hal ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Zurarah, dari ayahnya, dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau membaca ayat ini:
“Rasakanlah sentuhan api neraka. Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir.” (al-Qamar: 48-49)
Lalu beliau shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
نَزَلَتْ فِي أُنَاسٍ مِنْ أُمَّتِي يَكُونُونِ فِي آخِرِ الزَّمَانِ يُكَذِّبُونَ بِقَدَرِ اللهِ
“(Ayat ini) turun tentang sebagian manusia dari kalangan umatku di akhir zaman yang mendustakan takdir Allah.” (HR. ath-Thabarani 5/276 dan Ibnu Abi Hatim sebagaimana yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, 4/268. Asy-Syaikh al-Albani mensahihkan hadits ini karena dikuatkan oleh beberapa jalur. Lihat ash-Shahihah 4/1539)
Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi berkata, “Tatkala manusia berbicara tentang takdir, aku pun memerhatikan bahwa ternyata ayat-ayat ini turun tentang mereka:
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. Pada hari mereka diseret dalam neraka di atas muka mereka (dan dikatakan), “Rasakanlah sentuhan api neraka. Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir.” (al-Qamar: 47—49)(Tafsir ath-Thabari 22/162)
Adapun makna firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir.”
Kata-kata “kulla syai’in (segala sesuatu)” menunjukkan bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Allah subhhanahu wata’aala, dan semuanya merupakan ciptaan Allah subhhanahu wata’aala,  yang telah ditetapkan berdasarkan takdir.
Al-‘Allamah as-Sa’di rahimahulloh mengatakan, “Ini mencakup seluruh makhluk dan jagat raya yang atas dan yang bawah. Allah k sajalah yang menciptakannya. Tiada pencipta selain-Nya, dan tiada sekutu bagi-Nya dalam menciptakannya. Dia menciptakannya dengan ketetapan yang telah didahului oleh ilmu-Nya dan telah ditulis oleh pena takdir-Nya, berdasarkan waktu dan kadarnya, beserta seluruh sifatnya. Hal itu sangat mudah bagi Allah subhhanahu wata’aala.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Termasuk “segala sesuatu” yang telah menjadi ketetapan dan takdir Allah subhhanahu wata’aala,  adalah perbuatan-perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk. Seorang yang beramal saleh telah ditakdirkan oleh Allah subhhanahu wata’aala,  untuk mengamalkannya. Demikian pula halnya dengan seseorang yang berbuat kekafiran, kemaksiatan, dan perbuatan dosa, juga telah ditakdirkan Allah subhhanahu wata’aala, Tidak ada satu pun yang keluar dari ketetapan-Nya.
Al-Qurthubi t berkata, “Telah menjadi ketetapan Ahlus Sunnah bahwa Allah subhhanahu wata’aala,  telah menakdirkan segala sesuatu, yaitu: mengetahui takdirnya, keadaannya, dan zaman sebelum diwujudkannya. Kemudian Allah subhhanahu wata’aala,  mewujudkannya berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh ilmu-Nya bahwa Dia mewujudkannya. Dengan demikian, tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi di alam atas dan bawah kecuali bersumber dari ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, dan kehendak-Nya, bukan kehendak makhluk-Nya. Makhluk tidak ikut campur padanya selain dalam hal usaha, upaya, dan penisbahan perbuatan kepadanya. Semua itu terjadi pada mereka dengan kemudahan dari Allah subhhanahu wata’aala, kekuasaan, taufik, dan ilham-Nya. Mahasuci Allah yang tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia semata. Tiada pencipta selain Dia, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Bukan seperti anggapan kaum Qadariyah (pengingkar takdir) dan selainnya yang mengatakan, ‘Kamilah yang menciptakan amalan kami sendiri. Adapun ajal tidak berada dalam kekuasaan kami’.” (Tafsir al-Qurthubi)
Hal ini dikuatkan pula oleh firman Allah subhhanahu wata’aala :
 “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (ash-Shaffat: 96)
Kata مَا pada kalimat ada dua kemungkinan:
1. مَا tersebut adalah mashdariyah, sehingga maknanya adalah Allah subhhanahu wata’aala,  yang menciptakan kalian dan perbuatan kalian.
2. مَا tersebut sebagai isim maushul yang bermakna , sehingga bermakna bahwa Allah subhhanahu wata’aala,  menciptakan kalian dan apa yang kalian buat.
Ibnu Katsir t berkata setelah menyebutkan dua makna ini, “Kedua makna ini saling berkaitan, dan yang pertama lebih jelas.” Ini juga yang dikuatkan oleh al-Qurthubi. (Tafsir Ibnu Katsir,12/35—36, Tafsir al-Qurthubi,18/57—58)
Al-Qurthubi t berkata, “Ini adalah mazhab Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan (hamba) adalah ciptaan Allah l juga usaha dari hamba-hamba tersebut. Ini menunjukkan batilnya mazhab Qadariyah dan Jabariyah.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/106)
Lalu beliau menyebutkan hadits Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam :
إِنَّ اللهَ يَصْنَعُ كُلَّ صَانِعٍ وَصَنْعَتِهِ
“Sesungguhnya Allah subhhanahu wata’aala,  yang menciptakan setiap pembuat dan buatannya.” (HR. al-Bukhari dalam Khalqu Af’al al-‘Ibad, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, Ibnu Mandah dalam at-Tauhid, dan lainnya, dari hadits Hudzaifah bin al-Yaman z. Lihat ash-Shahihah, 4/1637)
Dari Imran bin Hushain z, Rasulullah n ditanya, “Apakah penghuni surga dan penghuni neraka telah diketahui?”
Beliau n menjawab, “Ya.”
Lalu beliau ditanya lagi, “Lalu bagaimana dengan amalan orang-orang?”
Beliau n menjawab:
كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Setiap orang akan dimudahkan kepada sesuatu yang dia telah ditakdirkan untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam  juga bersabda:
كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ –أَوْ: الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ
“Segala sesuatu berdasarkan takdir, sampai pun kelemahan dan kecerdasan. –Atau kecerdasan dan kelemahan.” (HR. Muslim dari beberapa sahabat Rasulullah shallallohu wasallam)
Diriwayatkan pula dari Ali radiallohu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak seorang pun dari kalian dan tidak satu jiwa pun kecuali telah ditetapkan tempatnya di surga atau neraka. Telah ditetapkan pula baginya kesengsaraan atau kebahagiaan.” Lalu ada seseorang bertanya, “Mengapa kami tidak cukup bersandar kepada kitab yang telah ditetapkan dan meninggalkan amalan? Siapa di antara kita yang telah ditetapkan menjadi orang yang bahagia maka dia akan menjadi orang yang berbahagia. Siapa di antara kita yang ditetapkan menjadi orang sengsara maka dia akan menjadi orang sengsara?” Beliau n menjawab:
“Orang yang bahagia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan orang yang berbahagia, sedangkan orang yang sengsara akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan orang yang sengsara.”
Lalu beliau n membaca firman-Nya:
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5-10) (Muttafaqun ‘alaihi)
Firman Allah subhhanahu wata’aala :
“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti satu kejapan mata.” (al-Qamar: 50)
Ibnu Katsir t berkata menjelaskan makna ayat ini, “(Ayat) ini mengabarkan tentang terlaksananya apa yang menjadi kehendak-Nya terhadap makhluk-Nya, sebagaimana Allah mengabarkan tentang terlaksananya kekuasaan-Nya. Dia berkata, ‘Tidaklah urusan Kami melainkan hanya sekali saja’, yaitu sesungguhnya kami memerintahkan sesuatu hanya sekali, tidak membutuhkan kali kedua untuk menegaskannya. Apa yang Kami perintahkan itu langsung terjadi seperti kejapan mata, tidak terlambat sekejap pun.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Dalam ayat yang lain, Allah subhaanahu wata’aala, berfirman:
“Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya, ‘Jadilah,’ lalu jadilah dia.” (Ali Imran: 47)
Masih banyak lagi ayat yang semakna dengan ini. Wallahu a’lam.
Sumber : http://salafybpp.com/index.php/fataawa/143-semua-telah-ditakdirkan

Indahnya hari Jum'at


                                  Al-Ustadz Abdul Mu'thi,Lc hafidahullah
Sesungguhnya Dzat yang mencipta alam semesta dan yang mengatur jagat raya telah melebihkan atau mengistimewakan sebagian hari di atas hari-hari yang lain. Di antaranya adalah hari Jum’at, Allah Subhanahu wata’ala memerintah umat Islam untuk mengagungkannya dengan beragam amalan yang disyariatkan. Padahal umat sebelum kita, dari kalangan Yahudi dan Nasrani, telah diperintah untuk mengagungkannya, namun mereka menyelisihinya. Orang Yahudi memilih hari Sabtu dan orang Nasrani memuliakan hari Minggu (Ahad).



Jum’at adalah salah satu nama hari dalam sepekan. Dalam bahasa Arab, bentuk penulisannya adalah ,الْجُمْعَةُ terambil dari kata ( الْجَمْعُ ) yang berarti mengumpulkan sesuatu yang terpencar. Adapun menurut para ahli qiraat, cara membacanya ada tiga: dengan didhammah huruf mimnya (اْلجُمُعَة), difathahkan (اْلجُمَعَة) atau disukun (اْلجُمْعَة). (Lihat al-Qamus al-Muhith, 3/14-15 dan Tafsir al-Qurthubi, 18/97)

Adapun tentang alasan dinamakan hari Jum’at, para ulama berbeda pendapat setelah mereka sepakat bahwa di masa jahiliah manusia menamakannya hari al-‘Arubah. Dalam Fathul Bari (2/353), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menyebutkan pendapat-pendapat ulama tersebut lalu menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa dinamakan hari Jum’at karena penciptaan Nabi Adam ‘alaihis salam terjadi pada hari tersebut.

Landasan pendapat ini adalah hadits Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Wahai Salman, apa itu hari Jum’at?” Salman menjawab, “Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali dan Salman selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Lantas Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

يَا سَلْمَانُ، يَوْمُ الْجُمُعَةِ بِهِ جُمِعَ أَبُوْكَ -أَوْ أَبُوْكُمْ- أَنَا أُحَدِّثُكَ عَنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ

“Wahai Salman, hari Jum’at terkumpul padanya penciptaan bapakmu atau bapak kalian. Aku akan bercerita kepadamu tentang hari Jum’at.”(Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1732)

Hari Jum’at memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam syariat Islam dan mempunyai keistimewaan yang tidak ada pada hari-hari yang lain. Berikut beberapa keistimewaan hari Jum’at.

1. Hari raya umat Islam yang terulang-ulang setiap pekan

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada suatu Jum’at,

مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِنَّ هذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ لَكُمْ عِيْدًا

“Wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya ini adalah hari yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala sebagai hari raya bagi kalian.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamash-Shaghir dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

2. Terjadinya hari kiamat pada hari Jum’at

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيْهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ

“Sebaik-baik hari yang terbit matahari pada waktu itu adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam surga, dan dikeluarkan dari surga. Tidak akan terjadi kiamat selain pada hari Jum’at.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

3. Orang yang mati pada hari Jum’at ataumalam Jum’at akan dihindarkan dari fitnah (pertanyaan) kubur

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

“Tiada seorang muslim yang mati pada hari Jum’at atau malamnya kecuali Allah Subhanahu wata’ala akan menghindarkannya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Dalam Ahkam al-Janaiz, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya hasan atau sahih dengan banyaknya jalan periwayatan)

4. Diharamkan menyendirikan puasa pada hari Jum’at tanpa dibarengi oleh puasa sehari sebelum atau setelahnya

Hal ini berlandaskan hadits Juwairiyyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kepadanya hari Jum’at dalam keadaan dia Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berpuasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu puasa kemarin?” Juwairiyah menjawab, “Tidak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi apakah kamu ingin puasa esok hari?” Juwairiyah menjawab,“Tidak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,“Berbukalah kamu!” (HR. al-Bukhari no. 1986)

5. Ada saat yang mustajab/dikabulkan bagi orang yang berdoa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan hari Jum’at lalu bersabda,

فِيْهِ سَاعَةٌ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Pada hari itu ada saat yang tidaklah seorang hamba muslim bertepatan dengannya dalam keadaan dia berdiri shalat yang ia meminta sesuatu kepada Allah Subhanahu wata’ala melainkan akan dikabulkan oleh-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 935)

Saat yang mustajab dari hadits ini diperselisihkan waktunya oleh ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan ada 42 pendapat. Dari pendapat sebanyak itu, yang dikuatkan oleh al-Hafizh ada dua, yaitu antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesai shalat Jum’at, dan

pendapat yang kedua adalah setelah shalat ashar hingga tenggelamnya matahari. (Fathul Bari 2/416-420)

Setelah menyebutkan bukti-bukti bahwa saat yang mustajab itu setelah ashar, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, “Ini adalah pendapat mayoritas salaf, dan banyak hadits menunjukkan pendapat ini. Pendapat berikutnya adalah saat shalat Jum’at. Adapun pendapat selebihnya tidak ada dalilnya.”

Al Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan, waktu yang dikhususkan adalah akhir waktu setelah ashar, yaitu waktu tertentu di hari Jum’at yang tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu shalat Jum’at maka mengikuti shalat tersebut baik maju pelaksanaannya maupun mundur. Beliau menyebutkan bahwa berkumpulnya kaum muslimin, shalat mereka, kekhusyukan dan permohonan mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala, memiliki pengaruh kuat untuk dikabulkannya doa. (Zadul Ma’ad)

Masih banyak keistimewaan hari Jum’at yang tidak bisa ditampilkan seluruhnya di sini karena keterbatasan ruang. Ibnul Qayyim rahimahullah telah menyebutkan sekian puluh keistimewaan dalam kitabnya Zadul Ma’ad jilid pertama. Bahkan, as-Suyuthi rahimahullah menulis kitab khusus tentang keistimewaan hari Jum’at yang beliau beri judul Nurul Lum’ah fi Khashaish Yaumil Jumu’ah.

saja, orang yang membacanya perlu jeli dan hati-hati karena as-Suyuthi tidak hanya memuat hadits/atsar yang kuat tetapi juga yang lemah, bahkan maudhu’ (palsu). Wallahu a’lam.

Apa Hukum Arisan.?


Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini hafidzahullah
Arisan dikenal oleh sebagian orang  Arab dengan istilah jam’iyyah(kumpulan peserta arisan). Ini termasuk masalah kontemporer yang tengah marak ditekuni oleh banyak kaum muslimin mengingat manfaat yang mereka rasakan darinya. 

Masalah ini diperselisihkan oleh ulama ahli fatwa masa kini.

1. Ada yang berpendapat haram. Al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullahberfatwa, “Ini dinamakan pengutangan di antara sekumpulan orang (arisan) dan perkara ini kehalalannya diragukan. Sebab, arisan adalah piutang dengan syarat adanya timbal balik dengan diutangi pula dan termasuk piutang yang menarik manfaat. Karena dua alasan tersebut, arisan haram.
Di antara ulama ada yang berfatwa boleh dengan alasan manfaat yang ditarik karena pengutangan itu tidak khusus pada salah satu pihak (pemiutang) melainkan pada kedua belah pihak. Menurut saya, yang rajih (terkuat) adalah pendapat pertama (yang mengharamkan). Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.
“Setiap piutang yang menarik suatu manfaat, hal itu adalah riba.”1 (Lihat kitab Asna al-Mathalib hlm. 240,al- Ghammaz ‘ala al-Lammaz hlm. 173, dan Tamyiz al-Khabits min ath-Thayyib hlm. 124)
Seluruh ulama telah sepakat atas makna yang terkandung pada hadits ini, sementara itu arisan termasuk dalam makna ini. Selain itu, arisan termasuk pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya, padahal Nabi n melarang adanya dua akad dalam satu akad. Wallahu a’lam.”2
2. Ada yang berpendapat boleh. Ini adalah fatwa Ibnu Baz—bersama Haiat Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi) yang dipimpinnya—dan Ibnu ‘Utsaimin. Berikut kutipan fatwa mereka.
• Al-Imam Ibnu Baz  rahimahumullah ditanya mengenai hukum arisan. Gambarannya, sekelompok pengajar mengumpulkan sejumlah uang di akhir bulan dari gaji mereka, lalu mereka memberikannya kepada salah seorang dari mereka, lalu diberikan kepada orang berikutnya di akhir bulan berikutnya, demikian seterusnya sampai seluruh peserta mengambil uang yang telah dikumpulkannya selama ini. Beliau t menjawab, “Hal itu tidak mengapa. Arisan adalah piutang yang tidak mengandung syarat memberi tambahan manfaat kepada siapa pun. Majelis Haiat Kibar al-‘Ulama telah mempelajari masalah ini dan mayoritas  mereka membolehkannya mengingat adanya maslahat untuk seluruh peserta arisan tanpa mengandung mudarat. Hanya Allah l yang memberi taufik.”
• Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam syarah Bulughul Maram, “Terjadi masalah di kalangan para pegawai yang gajinya dipotong setiap bulan (untuk dikumpulkan) senilai tertentu menurut kesepakatan mereka. Uang itu lantas diberikan kepada salah seorang dari mereka di bulan pertama, lalu kepada orang kedua di bulan kedua, dan seterusnya hingga uang itu bergilir kepada seluruh peserta (arisan). Apakah masalah ini tergolong piutang yang menarik manfaat/riba?
Jawabannya, tidak. Hal itu bukan piutang yang menarik manfaat/ riba, karena tidak ada peserta yang mendapatkan uang lebih dari jumlah yang telah diberikannya. Ada yang berkata, ‘Bukankah disyaratkan piutang itu dibayar sepenuhnya kepadanya, yang berarti syarat pada piutang (yang menarik manfaat/riba)?’
Kami jawab bahwa hal itu bukan syarat adanya akad lain, tetapi sematamata syarat agar utang itu dilunasi. Artinya, peserta memberikannya kepada peserta lainnya dengan syarat ia mengembalikannya kepadanya senilai itu juga, tidak lebih dari itu.
Berdasarkan keterangan ini, pendapat bahwa arisan termasuk piutang yang menarik manfaat/riba adalah anggapan yang keliru. Sebab, arisan adalah piutang yang tidak mengandung penarikan manfaat/riba sama sekali. Seandainya peserta memiutangi uang senilai seribu dengan syarat dikembalikan dua ribu, tentu saja hal itu tidak boleh, karena tergolong piutang yang menarik manfaat/riba.”
Alhasil, yang benar menurut kami adalah pendapat yang membolehkan. Adapun kedua alasan yang dikemukakan oleh al-‘Allamah al-Fauzan sebagai dasar untuk menghukumi haramnya arisan telah terbantah pada kedua fatwa ini. Arisan bukan piutang yang menarik manfaat/riba, karena setiap peserta arisan tidak mengambil uang lebih dari uangnya sendiri yang dikumpulkannya selama berjalannya arisan.
Arisan bukan pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya. Sebab, setiap peserta yang mendapat undian (giliran) untuk mendapatkan sejumlah uang arisan yang terkumpul berarti dia diutangi oleh peserta arisan berikutnya (yang belum dapat giliran).
Adapun peserta yang telah dapat giliran, setorannya untuk membayar utangnya kepada pesertapeserta yang belum dapat giliran. Demikianlah seterusnya hingga berakhir.
Jadi, tidak ada sama sekali persyaratan akad lain yang membonceng padanya untuk memetik riba.
Wallahu a’lam.
Namun, pada perkembangannya ada model-model arisan yang diboncengi dengan lelang motor atau semacamnya yang perlu diwaspadai. Sebab, boleh jadi itu tergolong pengutangan yang menarik manfaat/riba sehingga haram. Hal itu apabila peserta arisan yang mendapat giliran di putaran-putaran berikutnya atau putaran terakhir diuntungkan oleh peserta-peserta sebelumnya dengan mendapat kelebihan dari nilai uang yang dikumpulkannya selama arisanberlangsung. Wallahul musta’an.
Sumber : http://asysyariah.com/problem-anda-hukum-arisan.html

Pembatal-Pembatal Wudhu

Al-Ustadz Hammad Abu Mu'awiyah hafidzahullah
Telah kita ketahui bersama bahwa hadats adalah suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk bersuci, baik itu hadats besar maupun hadats kecil. Dan telah dijelaskan bahwa hadats besar adalah hadats yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub dan yang semacamnya, sementara hadats kecil adalah yang bisa dihilangkan cukup dengan wudhu, walaupun bisa juga dihilangkan dengan mandi. Edisi kali ini kami akan membahas mengenai pembatal wudhu atau hadats kecil dan sedikit menyinggung tentang hadats besar.
Sebelum kami mulai, maka di sini ada satu kaidah yang perlu diperhatikan, yaitu: Asal seseorang yang telah berwudhu adalah wudhunya tetap syah sampai ada dalil shahih yang menyatakan wudhunya batal. Setelah ini dipahami, maka ketahuilah bahwa pembatal wudhu secara umum terbagi menjadi dua jenis:

A.Yang disepakati oleh para ulama bahwa dia adalah pembatal wudhu.

1.Tinja dan kencing.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Atau salah seorang di antara kalian datang dari buang air atau kalian menyentuh wanita lalu dia tidak menemukan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik.” (QS. Al-Maidah: 6)
Juga hadits Shafwan bin Assal dia berkata, “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- memerintahkan kami kalau kami sedang safar agar kami tidak melepaskan sepatu-sepatu kami selama tiga hari-tiga malam kecuali kalau dalam keadaan junub, akan tetapi kalau buang air besar, kencing dan tidur.” (HR. At-Tirmizi)
Semisal dengannya wadi, dia adalah air yang keluar setelah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang melelahkan atau sesaat setelah selesai kencing. Hukumnya sama seperti kencing.

2. Madzi, yaitu cairan yang keluar dari kemaluan ketika sedang melakukan percumbuan dengan istri atau ketika mengkhayalkan hal seperti itu.
Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda tentang seseorang yang mengeluarkan madzi, “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Kentut.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- memberi fatwa kepada seseorang yang ragu apakah dia kentut dalam shalat ataukah tidak,“Jangan dia memutuskan shalatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid)
4. Semua hadats besar juga adalah pembatal wudhu, yaitu: Keluarnya mani, jima’, haid, nifas, hilangnya akal dengan pingsan, gila atau mabuk dan murtad. Insya Allah semua ini akan kami bahas pada pembahasan mandi wajib.

B. Yang diperselisihkan oleh para ulama apakah dia pembatal wudhu. 

1. Tidur.
Ada dua jenis dalil yang lahiriahnya bertentangan di sini. Yang pertama adalah hadits Shafwan bin Assal yang telah berlalu, yang menunjukkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu. Yang kedua adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat pernah lama menunggu Nabi -shallallahu alaihi wasallam- untuk keluar melaksanakan shalat isya, sampai-sampai sebagian di antara mereka tertidur kemudian bangun kemudian tertidur lagi kemudian tertidur lagi, baru setelah itu Nabi keluar untuk mengimami mereka. (HR. Al-Bukhari) Bahkan dalam sebuah riwayat Abu Daud dari Anas disebutkan, “Kemudian mereka mengerjakan shalat dan mereka tidak berwudhu.” Maka hadits ini menujukkan bahwa tidurnya mereka tidak membatalkan wudhu mereka.
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membedakan antara tidur yang nyenyak dengan tidur yang tidak nyenyak atau sekedar terkantuk-kantuk. Yang pertama membatalkan wudhu -dan tidur inilah yang dimaksudkan dalam hadits Shafwan-, sedang tidur yang kedua tidak membatalkan wudhu -dan inilah yang dimaksudkan dalam hadits Anas-, wallahu a’lam. Ini adalah pendapat Malik, Az-Zuhri, Al-Auzai dan yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Rusyd, Ibnu Abdil Barr, Asy-Syaikh Ibnu Bazz dan Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
[Lihat An-Nail: 1/190, Syarh Muslim karya An-Nawawi: 4/74 dan Al-Ausath: 1/142]

2.  Darah istihadhah.
Dia adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita, bukan pada waktu haidnya dan bukan pula karena melahirkan.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa darah istihadhah tidaklah membatalkan wudhu, karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal itu. Dan hukum asal pada wudhu adalah tetap ada sampai ada dalil yang menetapkan batalnya. Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail, “Tidak ada satu pun dalil yang bisa dijadikan hujjah, yang mewajibkan wudhu bagi wanita yang mengalami istihadhah.”Di antara dalil lemah tersebut adalah hadits Aisyah tentang sabda Nabi kepada seorang sahabiah yang terkena istihadhah, “Kemudian berwudhulah kamu setiap kali mau shalat.” Hadits ini adalah hadits yang syadz lagi lemah, dilemahkan oleh Imam Muslim, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dan selainnya.
[Lihat Al-Fath: 1/409, As-Sail: 1/149 dan As-Subul: 1/99]

3. Menyentuh kemaluan.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah ditanya oleh seseorang yang menyentuh kemaluannya, apakah dia wajib berwudhu? Maka beliau menjawab, “Tidak, itu hanyalah bagian dari anggota tubuhmu.” (HR. Imam Lima dari Thalq bin Ali) Maka hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu.
Tapi di sisi lain beliau -shallallahu alaihi wasallam- juga pernah bersabda, “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Imam Lima dari Busrah bintu Shafwan) Dan ini adalah nash tegas yang menunjukkan batalnya wudhu dengan menyentuh kemaluan.
Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin adalah pendapat yang memadukan kedua hadits ini dengan menyatakan: Menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu akan tetapi disunnahkan -tidak diwajibkan- bagi orang yang menyentuh kemaluannya untuk berwudhu kembali. Jadi perintah yang terdapat dalam hadits Busrah bukanlah bermakna wajib tapi hanya menunjukkan hukum sunnah, dengan dalil Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak mewajibkan wudhu padanya -sebagaimana dalam hadits Thalq-. Wallahu a’lam bishshawab.
[Lihat Al-Ausath: 1/193, A-Mughni: 1/180, An-Nail: 1/301, Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/ 278-284 dan As-Subul: 1/149]

4. Bersentuhan dengan wanita.
Menyentuh wanita -yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wudhu, berdasarkan hadits Aisyah dia berkata,“Sesungguhnya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium sebagian istrinya kemudian beliau keluar mengerjakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi.” (HR. Ahmad, An-Nasai, At-Tirmizi dan Ibnu Majah)
Ini adalah pendapat Daud Azh-Zhahiri dan mayoritas ulama muhaqqiqin, seperti: Ibnu Jarir Ath-Thabari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Katsir, dan dari kalangan muta`akhkhirin: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil dan selainnya.
Adapun sebagian ulama yang berdalilkan dengan firman Allah Ta’ala,“Atau kalian menyentuh wanita …,” (QS. Al-Maidah: 6) bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu. Maka bisa dijawab dengan dikatakan bahwa kata ‘menyentuh’ dalam ayat ini bukanlah ‘menyentuh’ secara umum, akan tetapi dia adalah ‘menyentuh’ yang sifatnya khusus, yaitu jima’ (hubungan intim). Demikianlah Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhuma- menafsirkan bahwa ‘menyentuh’ di sini adalah bermakna jima’. Hal ini sama seperti pada firman Allah Ta’ala tentang ucapan Maryam,“Bagaimana mungkin saya akan mempunyai seorang anak sementara saya belum pernah disentuh oleh seorang manusia pun dan saya bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam: 20) Dan kata ‘disentuh’ di sini tentu saja bermakna jima’ sebagaimana yang bisa dipahami dengan jelas.
Ini juga diperkuat oleh hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari dan Muslim bahwa dia pernah tidur terlentang di depan Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- yang sedang shalat. Ketika beliau akan sujud, beliau menyentuh kaki Aisyah agar dia menarik kakinya. Seandainya menyentuh wanita membatalkan wudhu, niscaya beliau -shallallahu alaihi wasallam- akan membatalkan shalatnya ketika menyentuh Aisyah.
[Lihat An-Nail: 1/195, Fathu Al-Qadir: 1/558, Al-Muhalla: 1/244, Al-Ausath: 1/113 dan Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/286-291]

Catatan:
Menyentuh wanita -baik yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wudhu, hanya saja ini bukan berarti boleh menyentuh wanita yang bukan mahram. Karena telah shahih dari Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,“Seseorang di antara kalian betul-betul ditusukkan jarum besi dari atas kepalanya -dalam sebagian riwayat: Sampai tembus ke tulangnya-, maka itu lebih baik bagi dirinya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dari Ma’qil bin Yasar)
5. Mimisan dan muntah, baik memuntahkan sesuatu yang sudah ada di dalam perut atau yang masih berada di tenggorokan.
Semua ini bukanlah pembatal wudhu karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal tersebut, karenanya kita kembali ke hukum asal yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumallah-.
Adapun hadits, “Barangsiapa yang muntah (dari perut) atau mimisan atau muntah (dari tenggorokan) atau mengeluarkan madzi maka hendaknya dia pergi dan berwudhu.” (HR. Ibnu Majah dari Aisyah), maka ini adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi telah melemahkan hadits ini, karena di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyasy dan dia adalah rawi yang lemah.
6. Mengangkat dan memandikan jenazah.
Ada beberapa hadits dalam permasalahan ini, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Barangsiapa yang memandikan mayit maka hendaknya dia juga mandi, dan barangsiapa yang mengangkatnya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizi)
Akan tetapi hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Az-Zuhri, Abu Hatim, Ahmad, Ali bin Al-Madini dan Al-Bukhari. Adapun hadits-hadits lainnya, maka kami sendiri pernah mentakhrij jalan-jalannya dan kami menemukannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-, “Tidak ada satu pun hadits shahih yang ada dalam permasalahan ini.”
Ada beberapa pembatal lain yang tidak sempat kami sebutkan karena tempat yang terbatas, wallahul musta’an

Diberdayakan oleh Blogger.