Archive for Maret 2013

Tahukah Engkau Jalan Menuju Surga….




thalaq4
Dari Muadz bin Jabal radhiyallohu ‘anhu, dia berkata : Saya pernah bersama Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Pada suatu pagi ketika kami sedang berjalan, aku berada didekat beliau, maka aku berkata : “Wahai Rosulullah kabarkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam Surga dan menjauhkan aku dari Neraka”.
Maka beliau bersabda : “Sungguh engkau telah bertanya kepadaku tentang perkarayang begitu besar akan tetapi akan terasa mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Alloh, engkau beribadah kepada Alloh dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, engkau mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa dibulan Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji.”
Kemudian beliau berkata : “Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebakan ? Berpuasa adalah perisai, sedekah dapat memadamkan dosa-dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, demikian juga  sholat seseorang ditengah malam, kemudian beliau membacakan ayat, ‘…lambung-lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka…’ hingga ‘..apa yang telah mereka kerjakan’ [QS. As-Sajdah ; 17]
Kemudian beliau bersabda : “Maukah aku tunjukkan urusan yang terpenting, tiang-tiang penyanggahnya, dan puncak tertingginya ?” Saya katakan : “Tentu wahai Rosulullah”. Maka beliau bersabda : “Urusan terpenting adalah Islam, tiang penopangnya adalah sholat sedangkan puncak tertingginya (atapnya) adalah jihad”.
Kemudian lanjutnya : “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua itu ?” Saya menjawab : “Tentu wahai Rosulullah”. Maka beliau memegang lidahnya, lalu bersabda : “Jagalah olehmu ini!” Aku bertanya : “Wahai Nabi Alloh, apakah kami akan disiksa dengan sebab perkataan yang kami ucapkan?”
Beliau menjawab : “ibumu kehilangan kamu ya Muadz, bukankah orang-orang itu tersungkur di Neraka diatas wajah-wajah mereka atau diatas hidung-hidung mereka, tidak lain disebabkan oleh ulah lisan-lisan mereka ?”
[HR. Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa']
Faedah yang terkandung dalam hadits ini :
1. Antusias para shahabat  untuk melakukan amalan-amalan yang dapat memasukkan ke dalam Surga dan menjauhkan dari Neraka, dan ini adalah perkara terpenting dalam pandangan mereka, oleh karena itu Muadz bin Jabal bertanya kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tentang suatu amalan yang dapat memasukkan ke dalam Surga dan menjauhkan dari Neraka.
2. Penetapan adanya Surga dan Neraka, dan keduanya saat ini sudah ada dan keduanya tidak akan sirna selama-lamanya.
3.  Penjelasan bahwa pertanyaan Muadz bin Jabal ini adalah pertanyaan yang begitu besar karena balasannya begitu besar, sedangkan balasan sesuai dengan kadar obyek yang dibalasnya. Oleh karena itu Rosulullah bersabda : “Sungguh engkau telah bertanya kepadaku tentang perkara yang begitu besar.” maksudnya adalah Muadz telah bertanya tentang amalan yang begitu besar dengan dalil balasan yang akan diperoleh dengan amalan tersebut. Kemudian Nabi menjelaskan bahwa perkara yang begitu agung ini ringan bagi orang-orang yang diberi kemudahan oleh Alloh. Maka dapat diambil faedah dari sini, bahwa semestinya seseorang bersandar kepada Alloh untuk memohon kemudahan dari-Nya dalam segenap urusannya dan semestinya kita pun mengetahui bahwa diantara sebab diberikannya kemudahan dari Alloh adalah bertaqwa kepada-Nya. Alloh ta’ala berfirman :
“Barangsiapa bertaqwa kepada Alloh, niscaya Alloh akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” QS. Ath-Thalaq ; 4
4. Bahwa perkara yang paling utama dan paling besar adalah TAUHIDULLAH (mentauhidkan Alloh) dan berlaku ikhlas untuk Alloh, berdasarkan sabdanya : “Engkau beribadah kepada Alloh dan tidak menyekutukanNya dengan suatu apapun.”
5. Arti pentingnya sholat karena Rosulullah telah menyebutkan rukun ini setelah kalimat Al-Ikhlas. Jika ada yang bertanya, “Mana syahadat yang kedua? Syahadat bahwa Muhammad adalah Rosulullah ?” Maka kita katakan syahadat ini sudah dimaklumi dari sabdanya : “Engkau beribadah kepada Alloh dan tidak menyekutukanNya dengan apapun juga.” Dan telah lewat penjelasan ttg hal itu.
6. Diantara faedahnya adalah mendahulukan zakat diatas puasa, karena ibadah ini lebih ditekankan.
7. Diantara faedahnya adalah mendahulukan ibadah puasa diatas haji, karena ibadah puasa dilakukan setiap tahun, beda halnya dengan haji, ibadah ini hanya diwajibkan satu kali dalam seumur hidup.
8. Diantara faedahnya adalah dalam kalimat ini terdapat isyarat tentang rukun Islam, yakni : “Engkau beribadah kepada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa dibulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.”
9. Diantara faedahnya adalah melontarkan pertanyaan kepada anak didik agar membuatnya tergugah, berdasarkan sabdanya : “Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan?”
10. Diantara faedahnya bahwa kebaikan memiliki pintu-pintu, dan pintu-pintu itu memiliki jalan masuk. Hadits ini semodel dengan sabda Rosulullah yang berbunyi: “Iman itu lebih dari 72 cabang.” [Hadits Shohih dikeluarkan oleh Muslim]
11. Diantara faedahnya adalah bahwa ibadah puasa sebagai perisai, yaitu yang menghalangi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia, main-main, ucapan dusta, dan kebodohan. Ibadah inipun merupakan perisai bagi seseorang dari siksa api neraka. Berdasarkan firman Alloh ‘azza wa jalla : “Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” [Hadits Shohih dikeluarkan oleh Bukhori]
12. Diantara faedahnya adalah keutamaan bersedekah berdasarkan sabda Rosulullah : “Bersedekah dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”
13. Diantara faedahnya adalah bahwa sholatnya seseorang ditengah malam dapat memadamkan api kesalahan, berdasarkan sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam diatas, karena beliau membacakan firman-Nya :
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka. Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa perkara yang menyenangkan pandangan mata, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan.” QS. As-Sajdah ; 16-17
14. Diantara faedahnya adalah bahwa Nabi melontarkan permasalahan dengan bentuk pertanyaan untuk menarik perhatian orang yang diajak bicara.
15. Diantara faedahnya adalah bahwa urusan ini -yaitu urusan para makhluk- memiliki tiang penyanggah dan atap (bagian paling tinggi). Urusan paling penting adalah Islam. Tiang-tiangnya adalah Sholat sedangkan atapnya adalah jihad dijalan Alloh.
16. Diantara faedahnya adalah bahwa orang yang meninggalkan Sholat adalah kafir, berdasarkan sabda Nabi : “Tiang-tiang penyanggahnya adalah sholat.” dan telah dimaklumi, jika tiang-tiang itu runtuh, maka runtuh pula bangunan tersebut. Inilah pendapat terkuat berdasarkan kitab Alloh dan sunnah Rosulullah dan ucapan para shahabat.
17. Diantara faedahnya adalah bahwa jihad membawa ketinggian dan kemuliaan Islam, berdasarkan sabda Rosulullah : “Puncaknya adalah jihad.”
18. Diantara faedahnya adalah pokok dari semua itu adalah MENJAGA LISAN, berdasarkan sabda Rosulullah : “Maukah aku kabarkan padamu tentang pokok dari semua itu?” maka beliau memegang lidahnya seraya bersabda : “Tahanlah olehmu ini!”
19. Diantara faedahnya adalah bolehnya memberikan pelajaran dengan menggunakan isyarat, karena Nabi memegang lidahnya seraya bersabda :“Tahanlah olehmu ini!”
20. Diantara faedahnya adalah bahaya lisan terhadap diri seseorang, berdasarkan sabda Nabi : “Bukankah manusia tersungkur di Neraka diatas wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka, tidak lain disebabkan ulah lisan-lisan mereka?”
21. Diantara faedahnya adalah Kehati-hatian dalam hal periwayatan hadits Nabi, karena perawi mengatakan : “Di atas wajah-wajah mereka atau di atas hidung-hidung mereka.” Ini menunjukkan sikap amanah sempurna dalam penukilan hadits.
Dan segala puji hanyalah bagi Alloh……
-dikutip dari Kitab Syarah  Al-Arbain An-Nawawiyah karya Syaikh Sholih Al-’Utsaimin ; penerbit Pustaka Ar Royyan-
Sumber: http://www.mahad-alfaruq.com/tahukah-engkau-jalan-menuju-surga/

Waspadai Racun Yang Mematikan Hati…




hati
Hati tidak akan sekonyong-konyong menjadi sakit tanpa adanya penyebab yang membuat hati menjadi sakit dan menderita. Ada dua musibah besar yang menjadi prahara bagi hati, yaitu musibah syahwat yang merusak niat dan iradah; dan musibah syubhat yang menggerogoti ilmu dan i’tiqad.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Musibah (fitnah) itu masuk ke dalam hati seperti dianyamnya tikar, sehelai demi sehelai. Hati mana pun yang menerimanya akan tertitiklah padanya setitik noda hitam. Hati mana pun yang menolaknya akan tertitiklah padanya setitik cahaya putih. Akhirnya hati akan terbagi menjadi dua; hati yang hitam legam cekung seperti gayung yang terbalik tidak mengenal kebaikan, tidak pula mengingkari kemunkaran, selain yang dikehendaki oleh hawa nafsunya, dan hati putih bercahaya yang tidak akan tertimpat mudharat fitnah, selama langit dan bumi masih ada.” (Riwayat Muslim (al-Iman II/170), dengan lafadz yang berbeda.)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengelompokkan hati yang tertimpa musibah menjadi dua, yaitu:
Pertama,hati yang selalu menyerapnya seperti bunga karang yang selalu menyerap air. Maka tertitiklah padanya setitik noda hitam. Demikian seterusnya sehingga hati itu menjadi hitam dan terbalik. Inilah yang dimaksud tamsil beliau, “seperti gayung yang terbalik.” Dan jika hati telah berubah hitam dan terbalik maka akan datanglah dua penyakit yang sangat berbahaya dan akan menjerumuskannya pada jurang kehancuran dan kenistaan :

  1. Tercampur aduknya kebaikan dengan kemunkaran (syubhat), sehingga ia tidak mengenalinya lagi. Bahkan akan sangat mungkin ia dikuasai oleh penyakit ini, sehingga ia tidak akan sungkan-sungkan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, juga menganggap sunnah itu sebagai bid’ah dan bid’ah itu sebagai sunnah.
  2. Menjadikan hawa nafsu sebagai penghulu amalnya, dan dia meninggalkan semua yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, hati yang putih bercahaya dengan cahaya iman. Jika musibah fitnah datang, maka ia pun mengingkari dan menolaknya, sehingga dalam hatinya tertitik cahaya putih yang membeningkan hatinya.
Dan ketahuilah, setiap kemaksiatan adalah racun bagi hati. Ia menjadi penyebab lain sakit dan hancurnya hati, memalingkan iradahnya dari iradah Allah ‘Azza wa Jalla, dan memperburuk kesehatan hatinya.‘Abdullah bin Mubarak berkata ,
Kulihat dosa-dosa itu mematikan hati
Membiasakannya mengakibatkan kehinaan
Meninggalkannya adalah kehidupan bagi hati
Selalu menjauhinya adalah yang terbaik bagimuMaka barang siapa yang ingin hatinya selamat dan tetap hidup, hendaklah ia membersihkan hatinya dari pengaruh buruk dari racun-racun itu. Lalu menjaganya baik-baik, jangan sampai ada racun lain yang akan menggerogotinya dan menimbulkan sakit yang lebih parah.
Berikut adalah empat racun hati yang paling banyak tersebar dan paling berbahaya bagi kehidupan hati :
1. Banyak bicara
Seperti kata pepatah, “Lidah tidak bertulang”. Maka tidak jarang apa-apa yang keluar dari lidah akan membuat pemiliknya terjerumus ke dalam dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan ummatnya untuk menjaga lisannya. Karena lisan seorang manusia yang tidak terjaga akan membawanya ke dalam Neraka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Maukah kamu aku beritahukan kunci dari semua itu?” Aku (Mu’adz) menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah memegang lidahnya dan berkata, “Peliharalah ini!” Aku pun bertanya, “Wahai Nabi Allah, benarkah kita akan disiksa karena pembicaraan kita?” Rasul menjawab, “Ibumu kehilanganmu[1], Mu’adz! Bukankah manusia itu diseret ke Neraka pada wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka hanya disebabkan oleh buah perkataan mereka?”[2]
Yang dimaksud dengan buah perkataan dalam hadits di atas adalah balasan atas perkataan yang haram dan berbagai akibatnya. Dengan berbicara dan beramal seseorang telah menanam kebaikan atau keburukan. Dan di hari Kiamat nanti, ia akan menuai buah hasil dari perkataan dan perbuatannya di dunia. Barang siapa menanam kebaikan maka ia akan menuai karomah. Dan barang siapa menanam keburukan maka ia akan menuai penyesalan.
Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, artinya:
“Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke Neraka adalah dua lubang; mulut dan farji’ (kemaluan).”[3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya ada seseorang yang mengucapkan kalimat yang tidak jelas tetapi karenanya ia terjerembab di Neraka, lebih jauh dari jarak Timur hingga Barat.”[4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda, artinya:
“Barang siapa yang memberi jaminan untuk menjaga apa yang ada di antara kedua jenggotnya (lisan) dan dua paha (farji’) aku jamin baginya Surga.”[5]
Dan sabdanya juga, yang artinya:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”[6]
Hadits ini memuat perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbicara yang baik-baik saja dan diam dari selainnya. Khitab (pembicaraan) itu hanya ada dua; yang setiap hamba diperintahkan untuknya, dan selainnya, yang setiap hamba diperintahkan diam darinya.
Bencana lisan yang paling sedikit mudharatnya adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak berfaidah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Merupakan tanda baiknya keislaman seseorang jika ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.”[7]
Apa yang telah disebutkan di atas adalah bencana lisan terkecil mudharatnya. Lalu bagaimana dengan ghibah, namimah, kata-kata yang bathil dan keji, kata-kata yang mengandung dua makna, perdebatan, pengaduan, nyanyian, kedustaan, menyanjung-nyanjung, mengolok-olok, penghinaan, kekeliruan dalam pembicaraan dan yang lainnya, yang semuanya adalah bencana yang menimpa lisan seorang hamba untuk seterusnya merusak hatinya, dan juga menghilangkan kebahagiaan dan kesenangan yang ia rasakan di dunia dan menghilangkan keberuntungan dan kemenangan di akhirat. Allahul musta’an.
2. Banyak makan
Sedikit makan dapat melembutkan hati, menguatkan daya fikir, membuka diri, serta melemahkan hawa nafsu dan sifat marah. Sedangkan banyak makan akan mengakibatkan hal yang sebaliknya.
Miqdam bin Ma’d Yakrib berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Tidak ada bejana yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak bisa, maka sepertiga dari perutnya hendaknya diisi untuk makannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk nafasnya.”[8]
Berlebihan dalam makan akan mengakibatkan banyak hal buruk. Ia akan menggerakkan anggota badan untuk melakukan berbagai kemaksiatan serta menjadikannya merasa berat untuk beribadah. Dan dua hal ini sudah merupakan hal yang akan membawa kepada keburukan. Berapa banyak kemaksiatan yang bermula dari keadaan kenyang dan berlebihan dalam makan. Berapa banyak pula keta’atan dalam keadaan sebaliknya. Barang siapa dapat menjaga keburukan dari perutnya, maka ia telah menjaga diri dari keburukan yang besar.
Ibrahim bin Adham berkata[9], “Barang siapa memelihara perutnya akan terpelihara dirinya. Barang siapa mampu menguasai rasa laparnya akan memiliki akhlaq yang baik. Sesungguhnya kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu jauh dari seorang yang lapar dan dekat dari seorang yang kenyang.”
3. Banyak bergaul
Bergaul secara berlebihan akan membawa kerugian di dunia dan akhirat. Apabila tata cara dan tata krama dalam pergaulan tidak diperhatikan lagi, maka ia akan dapat menuai berbagai permusuhan. Di dalamnya akan tersimpan berbagai penyakit berbahaya yang jika dibiarkan maka ia akan dapat mematikan pada suatu saat.
Dalam bergaul, hendaknya kita dapat mengklasifikasi manusia menjadi empat kriteria. Ketidakmampuan kita dalam membedakan masing-masing kriteria dapat membawa kepada kerugian di dunia dan akhirat.
  1. Kelompok pertama adalah orang-orang yang setia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan seluruh kaum muslimin. Bergaul dengan mereka adalah keuntungan yang besar.
  2. Kelompok yang bergaul dengan mereka seperti mengkonsumsi obat. Ia dibutuhkan di kala sakit. Selama kondisi sehat, tidak akan ada yang bergaul dengan mereka. Mereka adalah para ahli dalam urusan mu’amalat, bisnis dan yang semisalnya. Anda harus bergaul dengan mereka, jika Anda ingin urusan ma’isyah Anda lancar.
  3. Kelompok yang bergaul dengan mereka berarti mengkonsumsi bakteri dan virus-virus penyakit. Ada yang menimbulkan penyakit ganas dan memakan waktu yang lama untuk dapat disembuhkan. Mereka adalah orang-orang yang tidak membawa keuntungan dan manfaat dunia dan akhirat. Mereka hanya membawa kerugian dan kemudharatan, sehingga jika Anda bergaul dengannya, maka dia bisa membunuh Anda dengan bakteri dan virus-virus mematikan yang dia bawa. Tapi ada juga penyakit yang lebih ringan. Mereka adalah orang-orang yang tidak baik bicaranya dan tidak pula memberi manfaat. Mereka hanya bisa mengambil manfaat dari orang lain. Ketika mereka berbicara, kata-kata yang keluar dari lisannya ibarat sembilu yang mengiris hati orang-orang yang mendengarnya. Namun, ia tetap bangga dengan ucapannya. Ia berlaku demikian terhadap siapa saja yang bergaul dengannya dan menyangka ia sedang menebar minyak wangi dengan ucapannya. Ia ibarat sebongkah batu besar yang tidak ada seorang pun yang mampu mengangkatnya dan tidak juga merubah keadaannya.
  4. Kelompok yang bergaul dengan mereka adalah kebinasaan total. Mereka ibarat bisa ular dan racun berbahaya lagi mematikan urat saraf. Jika seseorang memakannya dengan tidak sengaja, maka ia telah menelan sebuah kerugian. Mereka adalah ahli bid’ah dan ahlul hawa’. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam garis depan penghalang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka senantiasa menyeru kepada kesesatan, fitnah-fitnah bathil dan berbagai syubhat yang telah mereka bungkus dengan kata-kata yang indah lagi merayu-rayu. Mereka melabel bid’ah sebagai sunnah dan mengganti label sunnah dengan bid’ah. Sehingga tidaklah patut bagi orang-orang yang memiliki akal-akal yang sehat untuk ikut bergaul dengan mereka. Karena mereka tidak akan membawa sesuatu kecuali kesesatan dan kebinasaan.
4. Banyak memandang
Mata seringkali disebut sebagai jendela hati. Karena apa-apa yang indah dipandang mata, maka hati pun akan ikut mengaguminya. Tetapi, mata yang diciptakan untuk melihat sekalipun, tetap harus memiliki batasan-batasan dalam memandang. Janganlah sekali-kali kita membiarkan pandangan kita lepas dan berkeliaran di luar kendali, karena itu akan berakibat buruk.
1. Pandangan adalah panah iblis.
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman dalam sebuah ayat di kitab-Nya yang mulia, yang artinya:
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. an-Nuur: 30)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, artinya:
“Wahai ‘Ali, janganlah pandangan pertama kau ikuti dengan pandangan berikutnya. Untukmu pandangan pertama, tetapi bukan untuk berikutnya.”[10]
Diriwayatkan pula dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, artinya:
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang memandang tanpa sengaja, maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.”[11]
2. Syaithan akan menjadikan objek pandangan sebagai berhala dalam hati.
Syaithan memasukkan pengaruh buruknya ke dalam diri seseorang melalui pandangan mata dan sesungguhnya masuknya syaithan dari jalan ini melebihi kecepatan aliran udara masuk ke dalam ruang hampa. Syaithan akan memperindah wujud yang dipandang dan menjadikannya berhala tautan hati. Kemudian, ia mengobral janji dan angan-angan. Setelah itu ia nyalakan api syahwat dan dilemparkannya kayu bakar maksiat, sehingga seseorang itu jatuh ke dalam lubang dosa.
3. Pandangan itu menyibukkan hati.
Terlalu banyak memandang akan menjadikan hatinya tertawan dengan hal-hal yang dipandangnya. Sehingga akan membuatnya lupa dari urusan-urusan yang bermanfaat. Dia menjadi lalai dan senantiasa mengikuti hawa nafsunya, sehingga urusannya menjadi kacau dan tidak terkendali. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, yang artinya:
“Dan janganlah kamu ta’at kepada orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari dzikir kepada Kami dan mengikuti hawa nafsunya serta urusannya menjadi kacau balau.” (QS. al-Kahfi: 28)
Demikianlah bahwa melepaskan pandangan secara liar akan mengakibatkan tiga bencana ini. Sementara menjaganya akan membawa keuntungan di dunia dan akhirat.
Para pakar akhlaq bertutur, “Antara mata dan hati memiliki kaitan yang erat. Bila mata telah rusak dan hancur, maka hati pun akan ikut rusak dan hancur. Hati seperti ini ibarat tempat sampah yang berisikan segala najis, kotoran dan sisa-sisa yang menjijikkan. Ia tidak layak dihuni oleh ma’rifatullah, mahabbatullah, inabah kepada-Nya, ketundukan kepada-Nya dan kegembiraan ketika merasa dekat dengan-Nya. Penghuninya adalah hal-hal yang menjadi kebalikan dari itu semua.”
Melepaskan pandangan pun akan menjadikan hati buta, tidak dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, antara yang sunnah dan yang bid’ah, dan antara kebaikan dan keburukan. Tunduknya pandangan karena Allah akan membuahkan firasat yang benar yang dapat menjadi pembeda. Barang siapa menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla, niscaya Allah akan mencemerlangkan cahaya bashirahnya.
Itulah racun-racun mematikan bagi hati. Maka sudah menjadi tugas harian bagi kita untuk membuat hati kita terhindar dari racun-racun tersebut. Karena bila hati telah bersinar, maka berbagai amal kebaikan akan berdatangan dari berbagai penjuru untuk dilaksanakan. Sebagaimana bila ia berada dalam kegelapan maka berbagai bencana dan keburukan pun akan berdatangan dari berbagai tempat.
Yaa Muqollibal qulub, tsabit qulubana ‘ala diniik.
Yaa Mushorifal qulub, shorif qulubana ‘ala tho’atik.
Wallahu a’lam bish showab.
Catatan kaki:
[1] Kalimat yang biasa digunakan untuk menekankan suatu masalah.
[2] Riwayat at-Tirmidzi (al-Iman VII/362) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak fi at-Tafsir (VI/142), shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim.
[3] Riwayat at-Tirmidzi (al-Birr wash Shilah VI/142). Beliau berkata, “Hadits ini shahih gharib.” Juga al-Hakim dalam al-Mustadrak fi Raqa’iq (IV.324).
[4] Riwayat Bukhari (ar-Raqa’iq XI/308) dan Muslim (az-Zuhd XVIII/117).
[5] Riwayat Bukhari (ar-Raqa’iq XI/308 dan al-Hudud XII/113) dari Sahl bin Sa’d.
[6] Riwayat Bukhari (ar-Raqa’iq XI/308) dan Muslim (al-Iman II/18).
[7] Hadits Shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (az-Zuhd VI/607), Ahmad (al-Musnad I/201). Dalam tahqiq Musnad, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan, isnadnya shahih.
[8] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (IV/132), at-Tirmidzi (az-Zuhd VII/51) dengan sedikit perbedaan redaksi. Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini isnadnya shahih. Hanya saja Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Adz-Dzahabi sepakat dengan al-Hakim (IV/331).
[9] Tazkiyatun Nafs, Ibnu Qayyim al-Jauziyah.[10]Riwayat Abu Dawud (an-Nikah VI/186), at-Tirmidzi (al-Adab VIII/61), dinyatakan shahih oleh al-Hakim sesuai dengan syarat Muslim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi (II/194).
[11]Riwayat Muslim (al-Adab XIV/138).

Sumber: http://www.mahad-alfaruq.com/waspadai-racun-yang-mematikan-hati/

Ke Mana Kita Hendak Berlindung..??




Adalah suatu perkara yang wajar, bila setiap orang merasa takut dan khawatir akan ditimpa suatu kejelekan, musibah, dan perkara-perkara lain yang tidak disukainya. Namun manusia tidaklah selalu akan terhindar dari perkara-perkara yang tidak disukainya tersebut, di samping dia juga pasti mendapatkan perkara-perkara yang dia inginkan. Itulah kehidupan. Dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan-Nya, Allah  telah takdirkan itu semua kepada semua makhluk-Nya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَاأَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلى اللهِ يَسِيْرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah .”(Al Hadiid: 22)
Pada saat muncul perasaan khawatir dan takut (suatu kejelekan akan menimpa dirinya) itulah, seorang manusia butuh untuk mendapatkan perlindungan, dengan harapan agar dia terhindar darinya.
Allah , dengan rahmat dan kasih sayang-Nya telah memberikan petunjuk melalui lisan Rasul-Nya  kepada umat manusia ini, bagaimana seyogyanya bagi seorang hamba dalam meminta perlindungan. Allah, sebagai pencipta kebaikan dan kejelekan, dan pengatur alam semesta ini, sudah sepantasnyalah, bagi seorang hamba untuk menjadikan Dia sebagai satu-satunya tempat berlindung dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan.
Allah berfirman:
اللهُ الصَّمَدُ
“Allahlah satu-satunya tempat bergantung.”(Al Ikhlas: 2)
Namun kenyataannya, kita lihat sebagian kaum muslimin masih ada yang menjadikan tempat berlindung mereka selain Allah. Ketika akan mengadakan hajatan atau pesta pernikahan misalnya, mereka mendatangi kuburan yang diyakini sebagai kuburan wali, meminta perlindungan kepadanya agar acara yang akan diadakannya berjalan dengan selamat. Atau seseorang ketika melewati suatu lembah atau tempat-tempat lain, kemudian dengan lisan dan hatinya, serta penuh dengan kekhusyukan dan perendahan diri, dia mengucapkan kalimat permintaan perlindungan kepada penunggu tempat tersebut dari kalangan jin dan yang lainnya dari selain Allah dengan keyakinan agar tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia dalam perjalanannya.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah. Mengapa perbuatan-perbuatan tersebut tergolong sebagai perbuatan terlarang? Dan apakah larangan meminta perlindungan kepada selain Allah ? ini berlaku secara mutlak? Karena kita juga dapati ada seseorang yang dimintai perlindungan ternyata dia mampu untuk memberikan perlindungannya kepada orang yang memintanya tadi. Apakah yang seperti ini dibolehkan?

ISTI’ADZAH MERUPAKAN IBADAH
Dalam istilah bahasa Arab, meminta perlindungan biasa disebut dengan Isti’adzahالاِسْتِعَاذَةُ ) ). Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Isti’adzah adalah meminta perlindungan kepada Allah ? dan mendekatkan diri ke hadapan-Nya (agar terhindar) dari kejelekan sesuatu.” (Fathul Majid, hal. 195, Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy Syaikh).
Isti’adzah termasuk salah satu bentuk ibadah yang Allah perintahkan kepada semua hamba-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang batin (tidak tampak) maupun yang lahir (tampak).” (Majmu’ Fatawa, jilid 10, hal. 149).
Allah  berfirman:
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ اْلفَلَقِ
 “Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb Penguasa Shubuh.” (Al Falaq: 1)
Dan juga firman-Nya:
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
 “Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)
Di dalam dua ayat yang agung ini, Allah  perintahkan kepada hamba-Nya, untuk beristi’adzah kepada Rabb semesta alam. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kepada hamba-hamba-Nya, melainkan pasti sesuatu tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah. Maka masuklah Isti’adzah ini ke dalam ruang lingkup ibadah sebagaimana definisi yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tersebut.
Asy Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh dalam Syarh Kitab Tsalatsatil Ushul halaman 51 berkata: “Sebagian besar Ahlul Ilmi telah mengatakan bahwa Isti’adzah merupakan Ibadah Qalbiyyah.” Dalam kitabnya yang sama, beliau juga berkata: “Suatu ibadah tidaklah pantas ditujukan kecuali hanya kepada Allah, maka barangsiapa yang memalingkan sedikit saja dari suatu ibadah kepada selain Allah, berarti dia telah menujukan (mempersembahkan) suatu peribadatan kepada selain-Nya.”
Inilah hakekat kesyirikan yang Allah  larang sebagaimana firman-Nya:
 وَأَنَّ اْلمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا
 “Bahwa masjid-masjid adalah milik Allah. Maka janganlah kamu beribadah kepada sesuatupun (dari selain Allah) di samping (beribadah kepada) Allah.” (Al Jin: 18)
Di dalam ayat ini Allah melarang suatu peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah, walaupun di samping itu dia juga beribadah kepada-Nya.

HUKUM BERISTI’ADZAH KEPADA SELAIN ALLAH
Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membuat bab dalam Kitabut Tauhid “Bab Termasuk Perbuatan Syirik Adalah Beristi’adzah Kepada Selain Allah.”
Namun, dari sini tidaklah dipahami bahwa setiap Isti’adzah kepada selain Allah merupakan perbuatan syirik secara mutlak. Karena jika seseorang beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada orang lain yang dia mampu untuk memberikan perlindungan kepadanya, maka ini dibolehkan. Demikian penjelasan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Al Qaulul Mufid, jilid 1 hal. 250.
Para pembaca sekalian yang semoga dirahmati Allah, bagaimanakah sebenarnya batasan-batasan Isti’adzah itu? Kapan Isti’adzah hanya boleh ditujukan kepada Allah  saja? Dan kapan pula Isti’adzah kepada makhluk dibolehkan?

ISTI’ADZAH KEPADA ALLAH ?
Terkandung dalam Isti’adzah ini bahwa seorang hamba benar-benar butuh kepada Allah, bergantung kepada-Nya, berkeyakinan bahwa hanya Dialah yang mencukupi segala kebutuhan hamba-Nya. Dialah Yang Maha Sempurna sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu yang sedang atau akan terjadi, kecil atau besar, baik itu berasal dari manusia atau selainnya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 63, karya Asy Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin).
Allah  berfirman:
وَ إِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
 “Dan jika Syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36).
Di dalam ayat yang mulia ini, terkandung perintah agar beristi’adzah kepada Allah ketika datang gangguan dari syaithan, mengapa?
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sesungguhnya Dialah yang mendengar permohonanmu, Dia mengetahui keadaanmu dan kebutuhanmu yang sangat mendesak untuk mendapatkan perlindungan dan penjagaan-Nya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 750)
Dan firman-Nya:
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ اْلفَلَقِ
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa Subuh.” (Al Falaq: 1)
Dan juga firman-Nya:
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)
Para pembaca sekalian, para ulama ahli tafsir telah memberikan faedah kepada kita tentang kandungan surat ini, di antaranya Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sudah seyogyanya kita meminta perlindungan kepada Dzat Yang Mengatur dan Memiliki alam semesta ini. Sebagai konsekuansi dari Rububiyyah-Nya, maka hanya kepada-Nyalah semua peribadatan hamba ditujukan. Beliau berkata: “ …. Maka tidaklah sempurna suatu peribadatan seseorang kecuali dengan menyingkirkan musuh-musuh mereka yang hendak memutuskan dan menghalangi manusia dari beribadah kepada-Nya dan menjadikan manusia masuk ke dalam golongannya sehingga akan menjeratnya ke dalam As Sa’ir (An Naar, pen).” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 938).
Maka apakah pantas jika seorang hamba beribadah dan meminta perlindungan kepada selain Dzat yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta ini???
Allah  juga berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْأنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Maka jika kamu hendak membaca Al Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan Syaithan yang terkutuk.” (An Nahl: 98).
Berkata Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya: “Ini merupakan perintah dari Allah kepada hamba-Nya melalui lisan Nabi-Nya jika mereka hendak membaca Al Qur’an, maka hendaknya berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (Tafsir Al Qur’an Al Adhim, 2 / 607).

ISTI’ADZAH DENGAN SIFAT-SIFAT ALLAH
Termasuk perkara yang disyariatkan pula beristi’adzah dengan sifat-sifat Allah, baik berupa sifat Kalam-Nya Keagungan dan Kemulian-Nya ataupun sifat-sifat-Nya yang lain.
Dari Khaulah binti Hakim radhiyallahu ‘anha dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً فَقَالَ أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهً شَيْئٌ حَتَّى يَرْحَلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذلِكَ
 “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, kemudian berdo’a “Aku berlindung dengan Kalimat Allah Yang Sempurna dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan”, maka tidak ada sesuatupun yang memudharatkan dia sampai dia beranjak dari tempatnya tersebut.” (H.R. Muslim).
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berlindung dengan Kalimat Allah yang merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat-Nya yang sempurna yang tidak ada kekurangan dan aib padanya.
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Kalimat di sini adalah Al Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 17 / 26).
Oleh karena itu para ulama berdalil dengan hadits ini bahwa Kalamullah adalah termasuk sifat-sifat-Nya dan bukan makhluk. Karena Isti’adzah kepada makhluk dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Kalau seandainya Kalimat adalah makhluk, maka Rasulullah ? tidaklah akan menuntunkan kepada kita untuk beristi’adzah dengannya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255).
Maka jadilah hadits ini sebagai bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah dan yang lainnya yang menyatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Wallahu A’lam.

KAPAN KITA DIBOLEHKAN BERISTI’ADZAH KEPADA MAKHLUK?
Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy Syaikh dalam Fathul Majid hal. 198 membawakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Para ulama seperti Al Imam Ahmad dan yang lainnya telah menyatakan bahwa tidak boleh beristi’adzah kepada makhluk.” Demikian juga yang dinukilkan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yang kemudian beliau mengomentari perkataan ini bahwa larangan tersebut tidaklah mutlak, karena larangan beristi’adzah kepada makhluk berlaku untuk perkara-perkara yang hanya Allah saja yang mampu melakukannya.
Adapun jika beristi’adzah kepada makhluk yang dia tidak mampu atasnya, maka ini termasuk perbuatan syirik sebagaimana contohnya telah kami sebutkan dalam awal risalah ini.
Dan termasuk dalam larangan ini juga beristi’adzah kepada penghuni kubur (orang yang telah meninggal), karena mereka tidaklah mampu untuk memberikan manfa’at ataupun menimpakan mudharat. Maka Isti’adzah kepada merseka termasuk perbuatan syirik akbar (besar), sama saja apakah dalam beristi’adzah tersebut di kuburannya atau jauh darinya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255-256).
Adapun Isti’adzah kepada makhluk yang dia mampu atasnya, maka ini dibolehkan, namun dengan syarat dia hadir di hadapannya dan dalam beristi’adzah tidak ada unsur perendahan diri dan pengagungan, serta puncak kecintaan kepada makhluk yang dia beristi’adzah kepadanya tersebut, serta tidak ada pula ketergantungan hati kepadanya bahwa hanya dialah yang mampu memberikan perlindungannya.
Berkata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Tidak diragukan lagi bahwa ketergantungan hati kepada makhluk termasuk perbuatan syirik, maka jika kamu menggantungkan hatimu, harapanmu, takutmu, dan semua permasalahanmu kepada seseorang, dan kamu jadikan dia sebagai tempat berlindung, maka ini termasuk syirik karena semua ini tidaklah boleh ditujukan kepada selain Allah.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 256).
Dalam kitabnya yang lain Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 64-65, beliau menerangkan bahwa memohon perlindungan kepada makhluk yang memungkinkan untuk dijadikan tempat berlindung, baik berupa manusia, tempat, atau yang lainnya, maka ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi ketika menyebutkan beberapa fitnah:
مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ وَ مَنْ وَجَدَ فِيْهَا مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ
“Barangsiapa yang menengok atau mencarinya, ia akan tenggelam (terjerat) ke dalamnya, dan barangsiapa yang mendapat tempat berlindung, maka hendaklah dia berlindung kepadanya.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim).
Demikian juga dalam Shahih Muslim dari riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang wanita dari Bani Makhzum, yang melakukan pencurian, kemudian dihadapkan kepada Rasulullah dan diapun meminta perlindungan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. (Lihat hadits no. 1689).
Jika ada seseorang yang meminta perlindungan dari kejahatan orang yang dhalim, maka wajib untuk menjaga dan melindunginya sebatas kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi jika dia meminta perlindungan dalam rangka kemungkaran ataupun lari dari kewajibannya maka haram hukumnya untuk memberikan perlindungan kepadanya.

BOLEHKAH BERISTI’ADZAH KEPADA JIN?
Dalam kitabnya Taisirul ‘Azizil Hamid halaman 168 Asy Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh membawakan perkataan Mulla Ali Al Qari Al Hanafi, bahwasanya tidak boleh beristi’adzah kepada jin. Allah ? telah mencela orang-orang kafir karena perbuatan ini.
Allah  berfirman:
وَ أَنَّه كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَا دُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada segolongan laki-laki dari manusia meminta perlindungan kepada segolongan laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka ketakutan yang amat sangat.” (Al Jin: 6).
Dahulu orang-orang Arab Jahiliyyah ketika melewati suatu tempat tertentu berlindung kepada penguasa tempat tersebut dari kalangan jin, agar tidak menimpakan kejelekannya kepada mereka. Demikian sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Berkata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya Isti’adzah kepada jin haram hukumnya, karena tidak memberikan manfaat kepada orang yang memintanya, bahkan justru menambah kepada mereka rasa takut yang luar biasa.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 251)
Para pembaca yang dirahmati Allah, demikian beberapa perkataan ulama yang mampu kami nukilkan dalam risalah singkat ini. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungi kita dari perkara-perkara yang tidak diridhai-Nya serta memberikan petunjuk-Nya kepada kita untuk senantiasa berpegang teguh kepada jalan yang mengantarkan kepada keselamatan dunia dan akhirat. Aamiin.
اللَّهُمَّ إِ نِّي أَعُوذُبِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًًًا وَأَنَا أَعْلَمُ وَ أَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik kepada-Mu dan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan-Mu dari apa-apa yang aku tidak ketahui.”
Wallahu A’lam bish Shawab.

Sumber :  http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/ke-mana-kita-hendak-berlindung


Tegar Menyampaikan Kebenaran


Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc hafidzahullah

Mendakwahkan dan menyampaikan kebenaran adalah perkara besar. Tidak setiap orang layak menyandangnya, sebab dakwah butuh kesabaran dan pengorbanan harta benda dan jiwa. Seorang yang menyampaikan kebenaran harus istiqomah dalam dakwahnya agar ia senantiasa didoakan dan diiringi oleh para malaikat dalam dakwahnya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (30) نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ (31) نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ (32) وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33)  [فصلت/30-33]
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu”.  Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta sebagai hidangan (bagimu) dari Rabb yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat : 30-33)
Perhatikanlah orang-orang yang istiqomah (tegar) di atas amal ketaatan kepada Allah; ia akan selalu diiringi pertolongan dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan dilapangkan dadanya oleh Allah -Azza wa Jalla-.
Al-Imam Abul Faroj Abdurrahman Ibnul Jawziy -rahimahullah- berkata saat menerangkan makna ucapan para malaikat yang terdapat dalam ayat-ayat di atas,
“Maknanya, kamilah yang akan menjadi pengurus-pengurus kalian di dunia. Karena, para malaikat hanyalah mengurusi dan mencintai orang-orang beriman, disebabkan oleh sesuatu yang mereka lihat berupa amal-amal sholih mereka yang terangkat ke langit. Di akhirat nanti kami akan bersama kalian, tidak akan meninggalkan kalian sampai kalian masuk surga”. [Lihat Zaadul Masir (5/304) oleh Ibnul Jauziy Ad-Dimasyqiy]
Sebagian para muballigh dan da’i ada yang melanggar ayat-ayat ini sehingga merekapun segan menyampaikan kebenaran, bahkan berusaha menyembunyikannya bila mereka berdakwah di tengah masyarakat. Apalagi jika mereka berdakwah di tengah orang-orang yang memiliki kedudukan dan kharisma di masyarakat. Tujuannya bukanlah menyampaikan kebenaran. Tujuannya hanyalah menyenangkan masyarakat dan mengikuti selera mereka, dengan dalih bahwa ia mengikuti selera mereka, walaupun itu maksiat, demi mendekati dan menarik hati mereka.
Jalan dakwah seperti ini menyalahi jalan dakwah yang pernah digariskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa tugas seorang da’i adalah menyampaikan amanah dakwah dari Allah, tanpa mengikuti hawa nafsu manusia.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ  [النور : 54]
“Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnyakewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang“. (QS. An-Nuur : 54)
Seorang da’i bukanlah diktator yang memaksakan manusia seluruhnya harus beriman!! Sebab keimanan itu adalah hidayah. Sedang hidayah hanyalah di tangan Allah. Kita sebagai da’i hanyalah diperintahkan menyampaikan tugas dakwah dan penjelasan kepada manusia tentang jalan kebenaran yang harus diikuti dan jalan kebatilan dan keburukan yang harus dijauhi!!
Allah -Azza wa Jalla- berfirman
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ (21) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ (22) [الغاشية : 21 ، 22]
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.  Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka“.

Sebuah kesalahan besar bila seorang berdakwah dengan memegang prinsip bahwa dirinya siap menjadi “bagaikan lilin yang meleleh yang rela menghancurkan dirinya demi menerangi yang lain“. Prinsip seperti ini adalah prinsip yang batil. Allah telah mencela Bani Israil yang telah manusia, namun ia mengorbankan dirinya dan melakukan maksiat.
Allah -Ta’ala- berfirman,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ  [البقرة : 44]
“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqoroh : 44)
Al-Imam Abul Khoththob Qotadah bin Di’amah As-Sadusiy -rahimahullah- berkata,
كان بنو إسرائيل يأمرون الناس بطاعة الله وبتقواه وبالبر ويخالفون، فعيرهم الله.
“Dahulu Bani Isra’il memerintahkan manusia untuk berbuat ketaatan dan bertaqwa kepada Allah serta berbakti kepada-Nya. Namun mereka menyelisihinya. Karenanya, mereka dikecam oleh Allah”. [HR. Ath-Thobariy dalam Jami' Al-Bayan (843) dengan sanad yang hasan]
Inilah keadaan sebagian da’i yang tidak konsisten dan tegar memegang prinsip-prinsip agama dalam berdakwah, sehingga ia pun mengikuti selera masyarakat yang ia dakwahi. Jika masyarakatnya senang musik, maka ia pun “menghalalkan” musik demi menjaga perasaan mereka agar tidak tersinggung dan menjauh dari agama dan dakwah Islam. Jika masyarakatnya senang berbuat bid’ah, maka ia pun sengaja larut di dalamnya demi menjaga kemaslahatan dakwah, menurut sangkaannya!! Jika rakyat suka melawak dan melucon, maka ia pun mengubah dirinya sebagai “pelawak”, bahkan lebih dari sekedar pelawak!!! Padahal ia tahu bahwa melawak bukanlah jalan dakwah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bahkan beliau melarang kita banyak tertawa.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَا تُكْثِرُوْا الضَّحْكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحْكِ تُمِيْتُ الْقَلْبِ
Janganlah kalian memperbanyak tertawa karena memperbanyak tertawa bisa mematikan hati“. [HR. At-Tirmidzy dalam Sunan-nya (2305) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4193). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (506)]
Jika masyarakat senang menonton film, maka mereka pun membuat sandiwara dan film sebagai jalan dakwah yang mereka tempuh. Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak pernah mencontohkan dakwah melalui sandiwara dan pertunjukan.
Para pembaca yang budiman, seorang da’i harus tegar dalam dakwahnya, jangan goyah dengan macam rintangan yang akan melencengkan dirinya dari petunjuk Allah -Azza wa Jalla- dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
(ألا لا يمنعن رجلا هيبةُ الناسِ أنْ يقولَ بحقٍّ إذا عَلِمَه)
“Ingatlah, wibawa manusia janganlah menghalangi seseorang dari mengucapkan kebenaran, bila ia mengetahuinya”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2191) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4007). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib (2751)]
Ulama Negeri Syaikh, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat larangan kuat dari menyembunyikan kebenaran, karena takut kepada manusia atau karena ingin kehidupan dunia. Setiap orang yang menyembunyikannya, karena takut gangguan mereka dengan suatu jenis gangguan, seperti, pemukulan, celaan, diputuskannya rezki, atau karena takut kalau manusia tidak menghormatinya dan sejenis itu, maka orang seperti ini masuk dalam larangan ini dan ia menyelisihi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Jika demikian halnya keadaan orang yang menyembunyikan kebenaran, sedang ia tahu. Nah, bagaimana lagi dengan kondisinya orang yang tidak cukup melakukan hal itu. Bahkan ia memberikan persaksian batil atas kaum muslimin yang bersih (dari tuduhan) dan menuduh mereka dalam agama dan aqidahnya demi sejalan dengan orang-orang rendahan atau karena takut jika mereka menuduhnya juga dengan batil jika ia tidak sejalan dengan mereka di atas kesesatan dan tuduhannya”. [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/325)]
Para pembaca yang budiman, sesungguhnya dakwah Islam yang diemban oleh seorang da’i adalah dakwah yang universal, mencakup semua golongan, baik rakyat, maupun pemerintah. Di saat rakyat butuh bimbingan, maka kita ajak ia kepada kebaikan. Demikian pula, ketika penguasa memerlukan nasihat dan arahan, maka seorang da’i harus mengarahkan mereka kepada jalan-jalan kebaikan yang ia ketahui. Janganlah ia menyembunyikan kebenaran di depan pemerintah, karena segan dan takut. Jangan pula bertoleransi dan mencari-cari muka dan menjilat di depan mereka sampai harus meninggalkan dan menyelisihi petunjuk Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Tapi bersabarlah menghadapi dan mendakwahi mereka, karena sesungguhnya nasihat bagi mereka merupakan jihad yang paling utama. Sebab, dengan baiknya mereka, maka ikut baiklah seluruh rakyatnya.
Jangan gentar dengan ancaman dan kekuatan mereka. Masuklah menghadap kepadanya dengan segala adab-adab yang baik dalam menasihatinya. Nasihatilah pemerintah dengan nasihat yang tersembunyi, dengan kalimat yang lembut dan penuh kasih sayang sambil mengingatkan akibat yang akan ia rasakan dan masyarakatnya jika senantiasa durhaka kepada Allah -Azza wa Jalla-. Yakinlah dengan usaha dan tawakkal yang benar, nasihatmu –wahai para da’i- akan diterima oleh mereka. Jika mereka menolaknya, maka bersabarlah kalian.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah ia menampakkan secara terang terangan. Akan tetapi hendaknya ia ia mengambil tangannya agar ia bisa berduaan. Jika ia terima ,aka itulah yamg diharap, jika tidak maka sungguh ia telah menunaikan tugas yan ada pada pundaknya”. [HR Ahmad dalam Al-Musnad (3/403-404) dan Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096, 1097, 1098). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Zhilal Al-Jannah (hal. 514)]
Al-Imam Muhammad bin Ali As-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya bagi orang yang nampak baginya kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa, dan tidak menampakan celaan padanya didepan publik”.
[Lihat As-Sail Al-Jarrar (4/556) karya Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy]
Sekali lagi, lakukanlah tugas nasihat ini dengan penuh keikhlasan, sebab ia adalah amalan utama. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
ألا إن أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر”
“Ingatlah, sesungguhnya jihad yang paling utama, kalimat yang haq di sisi penguasa yang curang”. [HR. Abu Dawud (4344), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2174), Ahmad dalam Al-Musnad (3/19) dan Al-Qudho'iy dalam Musnad Asy-Syihab (no. 1141)]
Di hari-hari yang seperti ini, seorang muslim (khususnya, da’i) amat membutuhkan kesabaran dalam menghadapi dan mengatasi problematika umat yang tengah tenggelam dalam gulita maksiat.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ.
“Akan datang suatu zaman, orang yang bersabar di atas agamanya laksana orang yang menggenggam bara api”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2260). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' Ash-Shoghir (8002)]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ ، فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا ، وَيُمْسِي كَافِرًا ، يَبِيعُ قَوْمٌ دِينَهُمْ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا قَلِيلٍ ، الْمُتَمَسِّكُ يَوْمَئِذٍ بِدِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Kecelakaanlah bagi orang-orang Arab karena keburukan yang sungguh telah mendekat berupa fitnah-fitnah (ujian dan problema keimanan, pen.) ibarat potongan-potongan malam yang gulita. Seseorang beriman di waktu pagi dan menjadi kafir di waktu sore. Suatu kaum akan menjual agamanya dengan barang-barang dunia yang sedikit. Orang yang berpegang teguh dengan agamanya pada hari itu laksana orang yang menggenggam bara api”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/390), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (70/35) dan Ibnu Wadhdhoh dalam Al-Bida' wan Nahyu anha (hal. 77). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syu'aib Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (no. )]
Al-Imam Ali bin Sulthon Al-Qoriy -rahimahullah- berkata,
“Lahiriah hadits ini bahwa maknanya, sebagaimana halnya tidak mungkin akan menggenggam bara api, kecuali dengan kesabaran yang tinggi dan menanggung kuatnya rasa susah, maka demikian pula di zaman itu, tidak mungkin dibayangkan seseorang menjaga agama dan cahaya imannya, kecuali dengan kesabaran yang besar dan rasa penat yang berat”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/445)]
Al-Imam Abu Ishaq Burhanuddin Umar bin Ibrahim Al-Ja’buriy -rahimahullah- berkata,
“Zaman ini adalah zaman kesabaran. Karena, sungguh perkara yang ma’ruf (yang baik) telah diingkari, perkara mungkar dikenal (yakni, dilakukan), niat telah rusak, sifat khianat telah tampak, orang memperjuangkan kebenaran disakiti dan orang yang memperjuangkan kebatilan dimuliakan”. [LihatMirqoh Al-Mafatih (15/307)]
Di akhir zaman seperti ini maksiat, kekafiran dan kesyirikan merajalela dan tersebar dimana-mana sampai semua pelanggaran ini menutupi kebaikan dan pelakunya. Orang-orang yang menjunjung tinggi sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan mengamalkannya dijauhi oleh manusia-manusia rusak. Mereka menganggap orang-orang yang mengamalkannya dianggap aneh oleh kaumnya.
Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah haditsnya,
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 232)]
Islam asing dan aneh di mata manusia karena menyalahi hawa nafsu dan kejahilan mereka. Ketika seorang mengamalkan sunnah (ajaran) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di awal munculnya Islam, maka semua orang tersentak kaget dan heran sebagaimana kondisi di akhir zaman sekarang.
Jika sekarang ada pengikut sunnah (yakni, petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengamalkan sunnah, seperti memanjangkan jenggot, dan menggunakan jilbab besar beserta cadar, maka banyak kaum muslimin yang berteriak kaget, dan menganggapnya asing alias aneh, menakutkan, ketinggalan zaman, dan lainnya!! Keasingan ini terjadi karena kebanyakan manusia menjauhi sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kenapa mereka jauh? Mereka jauh karena kejahilan dan hawa nafsu menyelimuti mereka. Tapi keasingan ini sebenarnya adalah sunnatullah (ketentuan dari Allah -Azza wa Jalla-).
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibiy -rahimahullah- berkata, “Keterasingan ini adalah sunnatullah pada makhluk-Nya, yakni pengikut kebenaran dibandingkan pengusung kebatilan adalah jumlahnya sedikit berdasarkan firman-Nya -Ta’ala-,
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (103)
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya-. (QS. Yusuf: 103)
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13)
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba’ : 13)
(Demikianlah) agar Allah membenarkan apa yang Dia janjikan kepada Nabi-Nya berupa kembalinya sifat keterasingan itu kepada Islam. Jadi, keterasingan itu tidak akan terjadi, kecuali karena hilangnya pengikut (kebenaran) atau sedikitnya mereka. Hal itu terjadi saat perkara yang ma’ruf berubah menjadi kemungkaran; kemungkaran berubah (dianggap) sebagai sesuatu yang ma’ruf; Sunnah dianggap bid’ah, dan bid’ah dianggap sunnah. Akhirnya, pengikut Sunnah diperhadapkan dengan cacian dan sikap keras sebagaimana nasibnya dahulu para pengusung bid’ah, karena adanya keinginan para pengusung bid’ah itu agar symbol kesesatan bias bersatu (kuat)”.[Lihat Al-I'tishom (1/12), tahqiq Masyhur Hasan Salman, cet. Maktabah At-Tauhid, 1421 H]
Jumlah kaum muslimin pada hari ini amat banyak. Hanya saja yang kita sesalkan, mayoritas dari mereka tidak mengetahui Islam yang pernah dibawa oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan disebarkan oleh para sahabat.
Lihatlah, ketika mereka diajak untuk meninggalkan kesyirikan, maka mereka menuduh kita sebagai“Wahabi”. Perkara ini amat jelas jika ada seorang yang bertauhid melarang kaum muslimin datang ke kuburan orang-orang “sholeh”, karena mereka kesana untuk melakukan kesyirikan, seperti bernadzar di kubur, mengharap pertolongan dan kesembuhan dari penghuni kubur, meminta dan berdoa kepada mayit. Inilah yang dilarang dalam Islam dalam firman-Nya,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyeru (berdoa) kepada seseorangpun di dalamnya di samping (menyeru) Allah”. (QS. Al-Jin: 18)
Perhatikan, saat kita menasihati mereka untuk meninggalkan maulid karena hal itu tidak ada tuntunannya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka manusia akan kiamat. Bukankah Allah -Ta’ala- berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maa’idah: 3)
Bila agama telah sempurna, maka kita tidak perlu menambahinya dengan amalan yang tidak ada tuntunannya dalam agama -seperti, maulid-, sebab amalan yang tidak ada tuntunannya dalam agama akan tertolak, tidak mendapatkan pahala, bahkan akan dimintai pertanggungjawaban!!
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ
“Barang siapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”.[HR.Al-Bukhory dalam Shohih-nya (2697)]
Para pembaca yang budiman, para wanita ketika diajak mengenakan pakaian wanita muslimah yang syar’iy, maka mereka menolaknya dengan seribu alasan. Sehingga kita tidak bisa lagi membedakan antara wanita muslimah dan wanita kafir. Jika kalian berbelanja di mall-mall dan pusat perbelanjaan lainnya, maka kalian akan menyaksikan wanita-wanita kita berseliweran dan bekerja disana. Awal kita melihat mereka, kita menyangkanya wanita kafir, karena ia tidak berjilbab, dan ia bersolek ala wanita kafir. Tapi kita akan terperanjat ketika mengetahui bahwa ia adalah muslimah. Bukankah seorang wanita diperintahkan mengenakan jilbab yang tebal dan lebar sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab: 59).
Ketika para wanita kita diajak berjilbab yang syar’iy, maka mereka enggan dan menolak dengan dalih“kurang bebas”“tidak modern, kuno!!”“panas dan pengap”“tidak sesuai gaya anak muda”, dan sederet alasan lemah.
Lebih ironis lagi, wanita-wanita ini muak dan sinis saat melihat saudari-saudari mereka bercadar dan mengenakan jilbab lebar dan tebal. Subhanallah, sudah salah, malah menyalahkan lagi orang yang tidak salah!!
Para pembaca yang budiman, inilah fenomena yang kita lihat di masyarakat Islam. Banyaknya orang-orang Islam yang melakukan pelanggaran. Sehingga semua hal ini menjadi sebab dan pemicu mereka membenci, menjauhi, dan memusuhi setiap orang yang memperjuangkan kebenaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian hari-hari yang penuh kesusahan dan tekanan jiwa bagi para penegak kebenaran. Di hari-hari seperti inilah, orang-orang yang setia dan tegar memegang agama Islam yang murni, membutuhkan kesabaran.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إن من ورائكم أيام الصبر ، للمتمسك فيهن يومئذ بما أنتم عليه أجر خمسين منكم
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Orang-orang yang berpegang teguh di dalamnya pada hari itu dengan sesuatu yang kalian pijaki, mendapatkan pahala 50 orang diantara kalian”. [HR. Ibnu Nashr Al-Marwaziy dalam As-Sunnah (no. 32). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 494)]
Sungguh di hari-hari ini kita membutuhkan kesabaran dalam mengamalkan sunnah (petunjuk) Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di tengah keterasingan ajaran Islam di tengah pemeluknya sendiri. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tegar dan konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh ajaran Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang murni sampai kita menjumpai beliau di telaganya, amiin…
 Sumber: http://almakassari.com/tegar-menyampaikan-kebenaran.html

Diberdayakan oleh Blogger.