Bernadzar Untuk Wali-Wali


Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc hafidzahullah

Ada sebuah pemandangan yang amat mengerikan dan menyedihkan terjadi di sekitar kita. Pemandangan ini menggambarkan kepada kita tentang adanya sekelompok manusia yang mengaku muslim, tapi perbuatannya adalah perbuatan jahiliyah. Mereka memiliki kebiasaan mendatangi kuburan sebagian orang yang dilantik sebagai “wali-wali”. Di sana mereka melakukan nadzar (Bugis: tinja’) di hadapan kuburan orang-orang yang dianggap wali. Setiap orang yang datang memiliki hajat yang berbeda. Orang yang sakit akan bernadzar bahwa jika ia sembuh, maka ia akan datang ke kuburan itu. Orang mengharapkan keselamatan dari marabahaya, maka ia akan bernadzar bahwa jika ia selamat, maka ia akan datang ke kuburan wali fulan. Orang yang menginginkan rejeki atau jodohnya lancar, maka ia akan datang ke kuburan tersebut. Intinya, apa saja yang mereka harapkan, maka mereka datang ke kubur!! Untuk apa?! Semuanya datang untuk bernadzar untuk menyembelih hewan ternak dengan tujuan semua harapan mereka terpenuhi.
Ada juga di sebagian tempat, sebagian orang datang ke suatu tempat untuk bernadzar dengan cara mengikat benang pada nisan kuburan. Mereka bernadzar bahwa jika terpenuhi harapan mereka, maka mereka akan datang melepas ikatan tersebut. Lebih tragis lagi, jika sebagian jama’ah haji kita melakukan nadzar seperti ini di Jabal Rahmah (sebuah bukit di lokasi wuquf Arafah). Nampak sebagian diantara jama’ah haji kita menuliskan nama mereka di batu-batu bukit yang ada di Jabal Rahmah. Mereka bernadzar bahwa jika mendapatkan jodoh atau lainnya, maka mereka akan datang menghapus nama mereka yang tertulis di batu itu. Ini adalah kebiasaan batil ala jahiliyah!!!
Para pembaca yang budiman, sebelum jauh melangkah, ada baiknya para pembaca memahami arti dan batasan nadzar sehingga anda dapat memahami bahasan kita kali ini. Nadzar (النَّذْرُ), kata Al-Imam Abu Muhammad Al-Baghowiy -rahimahullah-,
النَّذْرُ : هُوَ أَنْ يُوْجِبَ عَلَى نَفْسِهِ قُرْبَةً لَمْ يُوْجِبْهَا الشَّرْعُ عَلَيْهِ
“Nadzar adalah seorang mewajibkan atas dirinya suatu qurbah (pendekatan diri/ketaatan) yang tak pernah diwajibkan oleh syara’ atasnya”. [Lihat At-Tahdzib fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'iy (8/150), oleh Al-Baghowiy, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1418 H]
Jadi, nadzar itu adalah seseorang menetapkan dan mewajibkan suatu ketaatan atas dirinya, walaupun ketaatan itu pada asalnya tidak wajib, hanya mustahab (hukumnya sunnah). Misalnya, seorang menyatakan, jika saya berhasil dalam ujian, maka saya akan menyembelih kambing. Jika meninjau hukum menyembelih kambing, maka ia adalah sunnah, kecuali pada sebagian kondisi (seperti, bagi jama’ah haji tamattu’ dan qiron). Ketika seorang mewajibkan sembelihan itu atas dirinya, maka hukumnya berubah menjadi wajib.
Nadzar, jika diarahkan dan diperuntukkan bagi Allah -Azza wa Jalla-, maka ia adalah ketaatan dan ibadah. Adapun jika diperuntukkan dan dilakukan di kuburan, maka ia bukan lagi ketaatan, tapi ia adalah kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah -Azza wa Jalla-.
Banyaknya fenomena salah paham tentang nadzar di kalangan kaum muslimin, maka kru Buletin Mungil At-Tauhid akan menurunkan fatwa seputar HUKUM NADZAR. Fatwa ini kami ambilkan dari kumpulan fatwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang terhimpun dalam sebuah lembaga yang bernama “Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’“. Fatwa ini kami turunkan dalam bentuk soal-jawab sebagaimana yang tertera dalam naskah aslinya.
—  Soal Pertama
Seorang penanya melayangkan pertanyaan kepada para ulama tersebut seraya bertanya, “Bernadzar kepada selain Allah adalah batil, tidak sah. Jika seorang manusia menadzarkan seekor kambing kepada Syaikh Muhyiddin (Ibnu Arabi) atau Syaikh Abdul Qadir Jailani -contohnya- untuk dinfaqkan daging-dagingnya kepada para faqir-miskin, dan agar pahalanya sampai kepada roh Syaikh. Dari situ muncullah berkah bagi orang yang bernadzar dari sisi Syaikh menurut keyakinan mereka. Apakah nadzar seperti ini sah. Jika tidak sah, apakah halal memakan daging yang dinadzarkan ini? Apakah hewan yang dinadzarkan ini masuk dalam kandungan firman Allah -Ta’ala-,
“…dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk selain Allah”. (QS. Al-Maa’idah : 3)
Karena hewan yang digunakan bernadzar adalah hewan yang suci? Apakah ini haram disebabkan oleh nadzar yang batil?
Para ulama kita yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah (saat itu diketuai oleh Syaikh Ibnu Baaz -rahimahullah-) memberikan fatwa, Pertama, nadzar dan menyembelih untuk Allah adalah ibadah diantara ibadah-ibadah; tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Barangsiapa yang bernadzar kepada selain Allah, maka sungguh telah berbuat syirik (menyekutukan makhluk) bersama Allah saat ia beribadah kepada selain Allah. Dosa perbuatan itu amat besar dan gawat, jika orang yang bernadzar atau yang menyembelih untuk orang mati meyakini bahwa si mati mampu memberikan manfaat atau madhorot (marabahaya), sebab hal itu adalah syirik dalam perkara rububiyyah, di samping syirik dalam uluhiyyah (penyembahan & peribadahan)”. Kedua, nadzar untuk selain Allah tidak sah, bahkan nadzar itu batil. Apa saja yang digunakan bernadzar berupa makanan mubah atau hewan mubah,dan belum disembelih, maka hal itu kembali kepada pemiliknya. Jika ia menyembelihnya untuk selain Allah, maka sembelihan itu berubah menjadi bangkai (yakni, sama nilainya dengan bangkai), haram baginya dan selain dirinya untuk memakannya. Sembelihan itu masuk dalam keumuman ayat tersebut. Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shohbih wa sallam”.[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa' (1/184-185/no. 4299)]
—  Soal Kedua
Penanya berkata, “Apa hukumnya meminta pertolongan kepada kuburan “para wali”, bertawaf (berkeliling) di sekitarnya, mencari berkah pada batu-batunya, bernadzar kepada mereka, menaungi kuburan mereka, dan menjadikannya sebagai perantara di sisi Allah?”
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah memberikan jawaban, “Meminta pertolongan kepada kuburan, atau bernadzar kepada mereka, atau menjadikan mereka sebagai perantara di sisi Allah dengan meminta hal itu dari mereka merupakan perbuatan-perbuatan syirik akbar (besar) yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, menyebabkan kekekalan dalam neraka bagi orang yang mati di atas perbuatan-perbuatan itu. Adapun tawaf (berkeliling) di sekitar kubur, dan menaunginya, maka ini adalah perbuatan bid’ah yang haram dilakukan, dan juga sarana besar dalam menyembah penghuninya, di samping Allah. Terkadang juga tawaf seperti ini merupakan kesyirikan, jika seseorang meyakini -dengan perbuatan itu- bahwa si mati bisa mendatangkan manfaat, dan menolak darinya marabahaya; atau ia meyakini dengan tawafnya pendekatan diri kepada si mati. Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shohbih wa sallam”.[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa' (1/186/no. 5000)]
—  Soal Ketiga
Seorang penanya pernah melayangkan pertanyaan ke lembaga Al-Lajnah Ad-Da’imah seraya berkata,“Saya adalah seorang pemuda di tingkat SMA (siswa). Sejak kecil, saya dan mayoritas keluargaku di Sudan. Mereka biasa mendatangi tempat-tempat pemakaman para Syaikh (yakni, orang yang dianggap sholeh) untuk mengusap kuburan mereka, mencari berkah padanya, dan bernadzar kepada penghuni kubur. Lantara itu, jiwaku menolak fenomena-fenomena seperti ini, tapi aku tak mampu berterus-terang, karena aku dianggap menurut mereka adalah orang kafir, mereka juga ingin meracuni aku. Pasti mereka akan menimpakan kepada sesuatu yang tak menyenangkan, bahwa mereka (orang-orang yang dianggap sholeh) adalah pemilik karomat, karena mereka adalah “wali-wali”. Kebanyakan diantara mereka mengaku pernah melihat Allah. Lantara itu, akupun berkeinginan mengenal hal itu dengan metode tertentu yang terdapat pada Jama’ah Anshorus Sunnah Al-Muhammadiyyah yang telah menjelaskan kepadaku bahwa apa yang mereka (orang-orang yang dianggap wali) akui, tiada lain kecuali persangkaan-persangkaan belaka, dan kesyirikan, serta mereka itu adalah ahli bid’ah. Sedang semua bid’ah dalam neraka. Aku mendapati di sisi mereka (Jama’ah Anshorus Sunnah) sebagian kitab-kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad Ibn Abdil Al-Wahhab. Tapi aku sendiri tidak bisa memilikinya, karena sempitnya pendapatan. Aku hanya mengandalkan usaha meminjam kitab-kitab mereka, dan mengembalikannya kepada mereka setelah waktu yang singkat. Lantaran itu, saya berharap dari Anda sebagai orang tua dan da’i (pengajak) kepada kebenaran agar Anda menjelaskan kepadaku dalam sebuah surat khusus tentang pendapat anda mengenai Jama’ah ini, di samping itu memberikan bantuan kepadaku berupa sebagian kitab-kitab –jika bisa- agar Anda bisa menerangi jalanku. Hanya Allah di balik semua maksud”.
Para ulama Ahlus Sunnah yang tergabung dalam AL-Lajnah Ad-Da’imah memberikan jawaban berikut:“Sesungguhnya bernadzar kepada kuburan-kuburan para syaikh adalah perbuatan syirik, karena nadzar adalah ibadah di antara ibadah-ibadah. Memalingkan sebagian ibadah kepada selain Allah merupakan syirik akbar (besar). Demikian pula (termasuk syirik) adalah berdoa kepada mereka, dan meminta pertolongan kepada mereka, karena maksud dari balik perbuatan itu memohon berkah dari mereka. Sungguh telah shohih dari Abu Waqid Al-Laitsiy sebuah hadits yang menunjukkan tentang hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ibn Abdil Wahhab -rahimahullah- dalam Kitab At-Tauhid, bab: Barangsiapa yang Mencari Berkah pada Sebuah Pohon atau Batu atau Sejenisnya. Demikian pula (termasuk syirik) mengusap kuburan-kuburan karena mengharap berkah dari penghuninya. Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shohbih wa sallam”.[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa' (1/188-189/no. 9412)].
Inilah hukum nadzar untuk wali-wali dan makhluk -secara umum- menurut para ulama Ahlus Sunnah. Tak heran jika seorang ulama’ Syafi’iyyah dari Iraq, Al-Imam As-Suwaidiy -rahimahullah- pernah mengingkari orang-orang yang bernadzar kepada Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. As-Suwaidiy (wft 1237 H) -rahimahullah- berkata, “Aku pernah melihat di kota Damaskus (Negeri Syam) sekelompok manusia yang me-nadzar-kan lampu pelita untuk Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. Mereka menggantungnya di atas mimbar-mimbar, dan menghadapkannya ke arah kota Baghdad. Pelita itu terus dinyalakan sampai pagi, sedang mereka meyakini bahwa hal itu termasuk cara yang paling sempurna dalam mendekatkan diri kepadanya. Seakan mereka menyatakan dengan lisan mereka bahwa dimanapun kalian menyalakan pelita-pelita itu, maka disanalah Abdul Qadir Jailaniy. Ya Allah, anehnya!! Khurofat macam apakah ini??!!!” [Lihat Al-Aqd Ats-Tsamin fi Bayan Masa'il Ad-Diin (hal. 215-216) oleh Ali bin Abis Su'ud Muhammad bin Abdillah Al-Abbasiy]
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.