Memahami Arti Serakah

Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc hafidzahullah

Bagai meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Mungkin itu kalimat yang cocok untuk menggambarkan dunia ini. Semakin kita mengejar dunia, maka ia semakin bergerak mundur ke belakang dan menjauh. Walaupun ia menjauh, namun dunia tetap melambaikan tangannya, agar kita selalu datang menghampirinya.  Dunia selalu memakai baju keindahannya dan segala perhiasannya sehingga menyilaukan mata para pencintanya. Akhirnya, mereka susah melihat antara  yang benar dan yang batil, yang halal dan yang haram,  melalaikannya dari perintah Rabb-nya, yang penting terpenuhi hasrat dan keinginannya. Hal itu senantiasa berjalan sampai ia harus berpisah dengan dunia. Allah -Subhana Wa Ta’ala- berfirman,
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ [التكاثر/1، 2]
 “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1-2)
Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, kalian telah disibukkan oleh sikap bangga dengan banyaknya harta dan jumlah pengikut dari ketaatan kepada Allah sampai kalian meninggal dan dipendam dalam kuburan”. [Lihat Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (20/168) karya Al-Qurthubiy, cet. Dar Alam Al-Kutub, 1423 H]
Pembaca yang budiman, dunia begitu indah dan hijau sehingga selalu enak dipandang mata. Tapi pada hakikatnya ia merupakan kesenangan yang menipu lagi memperdaya. Karenanya, Allah mengumpamakan dunia seperti tumbuhan yang hijau  nan subur, lalu akhirnya sirna. Allah -Subhana Wa Ta’ala- menjelaskan tentang hakekat dunia,
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ  [يونس/24]
 “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak, hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab (siksa) Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus : 24)
Rasulullah -Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam- bersabda,
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِى النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia adalah manis dan hijau dan  sesungguhnya Allah menjadikan kalian semua sebagai pengganti di bumi itu (untuk mengolah dan memakmurkannya). Maka Allah akan melihat bagaimana kalian beramal. Oleh sebab itu, takutlah kalian kepada dunia dan takutlah kalian dari wanita. Sebab fitnah yang pertama menimpa Bani Isra’il adalah pada wanita” (HR. Muslim dalam Shohih-nya (2742))
Karena indahnya dunia ini, banyak manusia yang dihinggapi penyakit tamak dan serakah. Mereka tidak merasa cukup dan puas terhadap karunia yang Allah berikan kepada mereka. Bahkan hak dan milik orang lain pun berusaha untuk diambil dan dikuasai. Jika tidak mampu dengan cara yang halus, cara yang kasarpun tak jadi masalah. Yang penting keinginan terpenuhi.
Sebenarnya ada dua istilah yang mirip, tapi memiliki makna yang berbeda, yaitu antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan manusia sebenarnya tidak terlalu banyak, akan tetapi keinginanlah terkadang yang mengantarkan kepada sikap serakah. Jika keinginan tidak dikontrol oleh syariat, maka pemiliknya tidak akan pernah merasa cukup dan puas. Walaupun hartanya berlimpah, rumahnya banyak dan kendaraan super mewah, tapi tetap saja merasa kurang dan sedikit. Ia selalu berusaha menambah dan melengkapi hal-hal yang sebenarnya lebih dari kebutuhannya. Padahal apakah semua harta yang dimiliki dapat ia konsumsi? Semua rumah yang ia miliki dapat ia nikmati ? Jawabannya, tentu saja tidak!!
Oleh karenanya, sifat tamak dan serakah termasuk amalan yang tercela di dalam Islam. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَوْ أَنَّ ِلإِبْنِ آدَامَ وَادِياً مِنْ ذَهَبٍ لأَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ وَادِياَنِ وَلَنْ يَمْلأَ فاَهُ إِلاَّ التُّرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تاَبَ
“Jika anak Adam memiliki satu lembah emas dia akan mencari agar menjadi dua lembah dan tidak ada yang akan menutup mulutnya melainkan tanah. Dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim no. 1049)
Al-Imam Al-Kirmaniy -rahimahullah- berkata, “Yang dimaksud hadits ini bukan hanya satu anggota badan saja (yakni mulut) karena tanah tidak hanya menutupi mulut saja namun (bagian tubuh) yang lain pun bisa tertutupi. Hadits ini merupakan kinayah tentang kematian yang akan menutupi seluruh jasad. Seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan merasa puas terhadap dunia sampai dia mati”. [Lihat Fathul Bari (11/287)]
Ini merupakan tabiat pada kebanyakan manusia. Dia amat mencintai harta benda. Jika memiliki harta benda, maka ia takut bila kehilangan sebagian dari hartanya. Disinilah sebagian manusia terserang penyakit kikir saat ia enggan berinfak di jalan Allah.
Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, “Makna hadits ini adalah bahwa anak Adam diberi tabiat cinta kepada harta benda dan tidak merasa puas untuk mengumpulkannya, kecuali orang-orang yang telah dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diberi taufiq untuk menghilangkan tabiat ini dan sedikit sekali dari mereka yang mendapatkan taufiq.” (Fathul Bari, 11/288)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Makna hadits Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhu-, bahwa bani Adam tidak akan merasa puas terhadap harta benda. Jika dia memiliki satu lembah, dia akan berusaha untuk menjadi dua lembah dan tidak ada yang akan menutupi mulutnya, melainkan tanah bila dia telah mati dan meninggalkan dunianya. Di saat inilah dia menjadi percaya setelah dunia hilang darinya. Bersamaan dengan itu, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk bertaubat, karena mayoritas orang yang rakus dunia tidak akan memelihara diri dari perkara yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- haramkan.” [Lihat Syarah Riyadhus Shalihin (1/66)]
Penyakit hati ini memiliki kerusakan yang sangat besar dan banyak. Seperti menzholimi orang lain, membuang-buang harta dan mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah -Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam- sangat khawatir tentang penyakit serakah ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah dua serigala lapar yang dilepas di tengah kawanan kambing lebih merusak bagi kambing itu dibandingkan rakusnya seseorang terhadap harta dan kedudukan (karena hal itu lebih merusak) agamanya “. [HR Ath-Tirmidzi (2376). Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kan hadits ini dalam Shohih Al-Jami' Ash-Shoghier (5620)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa rakusnya seseorang terhadap harta benda dan kedudukan akan merusak agamanya dan kerusakan ini lebih dahsyat dibanding kerusakan dua serigala yang sedang lapar terhadap kambing yang menyendiri.” [Lihat Majmu’ Fatawa  (28/217)]
Pengaruh harta bagi agama seseorang amatlah kuat. Banyak orang yang tidak menyadari hal itu sehingga ia pun tertipu dengan kehidupan orang-orang kaya. Akibatnya, ia menyangka bahwa kebahagiaan hakiki adalah banyaknya harta. Padahal boleh jadi harta yang banyak justru menjadi sebab kehancuran agama dan akhlak seseorang.
Al-Imam Muhammad Abdur Rahman Al-Mubarokfuriy -rahimahullah- berkata, “Adapun harta, maka perusakannya bahwa harta itu merupakan sejenis kemampuan yang akan membangkitkan pendorong syahwat-syahwat dan menyeret kepada bersenang-senang dalam hal-hal mubah. Akhirnya, gaya hidup bersenang-senang tersebut menjadi kebiasaan. Boleh jadi rasa hausnya terhadap harta semakin menjadi-jadi dan tak mampu lagi memperoleh harta yang halal. Dia pun terjerumus dalam hal-hal syubhat (samar hukumnya), disamping hal itu melalaikan dari mengingat Allah -Ta’ala-. Hal-hal seperti ini tak akan lepas dari seorangpun. Adapun kedudukan, maka cukuplah kerusakannya bahwa harta dikorbankan demi kedudukan, sedang kedudukan tidaklah dikorbankan demi harta. Ini adalah kesyirikan yang halus. Lantaran itu, ia pun terjun dalam sikap mencari-cari muka, menjilat, kemunafikan dan seluruh perilaku tercela. Jadi, ia (kedudukan) lebih merusak dan merusak”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (7/39)]
Apa yang dinyatakan oleh Al-Mubarokfuriy amatlah benar. Kedudukan amatlah merusak sampai seseorang rela merusak agama dan perilakunya. Lihatlah para pengejar kedudukan di musim-musim partai dan pesta demokrasi. Apapun ia akan korbankan demi kedudukan!! Na’udzu billah minal khudzlan…
Rasulullah -Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam- mendoakan kejelekan bagi orang yang tamak kepada dunia ini. Sebagaimana sabdanya,
تَعِسَ  عَبْدُ الدّيْنَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الخَمِيْصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ   تَعِسَ  وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيْكَ فَلَا انْتَقَشَ
“Celakalah hamba dinar,  celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah, celakalah hamba khamilah. Jika diberi, maka dia senang. Tetapi jika tidak diberi, maka ia marah. Celakalah dia dan merugilah. Jika tertusuk duri, maka duri itu tak akan tercabut”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2730)]
Oleh karenanya, hendaklah kita waspada terhadap penyakit berbahaya ini. Gunakanlah nikmat yang Allah berikan sesuai dengan kebutuhan kita. Sebab seluruh nikmat yang ada pada kita, kelak akan di mintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah -Subhana Wa Ta’ala- . Allah -Azza Wa Jalla- berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيم [التكاثر/8]
 “kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur : 8)
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.  Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.