Fadhilah Memberi Makan

Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc hafidzahullah

Memberi Makan merupakan sebuah adab yang sudah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin di hari ini. Padahal di zaman ini banyak diantara kaum muslimin yang membutuhkan makan.

Memberi makan –selain memiliki pahala besar-, ia juga merupakan sebab kedekatan dan eratnya hubungan seorang muslimin dengan tetangga dan saudara serta kerabat-kerabatnya.
Memberi makan kepada manusia (apalagi kepada fakir-miskin) merupakan tanda pedulinya seseorang kepada sesama manusia dan tingginya solidaritas. Tak heran jika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menggelarinya sebagai “manusia terbaik”.
Silakan dengarkan kisah berikut ini. Kisah yang menunjukkan keutamaan memberi makan kepada orang lain.

Dari Umar bin Al-Khoththob -radhiyallahu anhu- bahwa ia berkata kepada Shuhaib,
إِنَّكَ لَرَجُلٌ لَوْلاَ خِصَالٌ ثَلاَثَةٌ ، قَالَ : وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ : اكْتَنَيْتَ وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ ، وَانْتَمَيْتَ إِلَى الْعَرَبِ وَأَنْتَ رَجُلٌ مِنَ الرُّومِ ، وَفِيكَ سَرَفٌ فِي الطَّعَامِ . قَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، أَمَّا قَوْلُكَ : اكْتَنَيْتَ وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَنَّانِي أَبَا يَحْيَى ، وَأَمَّا قَوْلُكُ : انْتَمَيْتَ إِلَى الْعَرَبِ وَأَنْتَ رَجُلٌ مِنَ الرُّومِ فَإِنِّي رَجُلٌ مِنَ النَّمِرِ بْنِ قَاسِطٍ اسْتُبِيتُ مِنَ الْمَوْصِلِ بَعْدَ أَنْ كُنْتُ غُلاَمًا قَدْ عَرَفْتُ أَهْلِي وَنَسَبِي ، وَأَمَّا قَوْلُكَ : فِيكَ سَرَفٌ فِي الطَّعَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِنَّ خَيْرَكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ.
“Sesungguhnya engkau adalah seorang yang lelaki (yang hebat), andaikan bukan karena tiga perkara”. Shuhaib bertanya, “Apa tiga hal itu?” Umar berkata, “Engkau berkun-yah (menggunakan nama sapaan), sedang kau tidak memiliki anak. Kau menisbahkan diri kepada bangsa arab, sedang engkau termasuk orang Romawi dan pada dirimu terdapat sikap berlebihan dalam memberi makan”.
Shuhaib berkata, “Wahai Amirul mukminin; adapun ucapanmu, ” Engkau berkun-yah (menggunakan nama sapaan), sedang kau tidak memiliki anak”, maka sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah memberikan kun-yah bagiku dengan “Abu Yahya” (Bapaknya Yahya). Adapun ucapanmu, ” Kau menisbahkan diri kepada bangsa arab, sedang engkau termasuk orang Romawi”, maka sesungguhnya aku berasal dari suku An-Namir bin Qosith. Aku pernah di tawan dari negeri Maushil setelah aku menjadi remaja yang telah mengenal keluarga dan nasabku. Adapun ucapanmu, “…pada dirimu terdapat sikap berlebihan dalam memberi makan”, maka sungguh aku pernah mendengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ خَيْرَكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ.
“Sesungguhnya orang terbaik diantara kalian adalah orang yang memberi makan”. [HR. Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot (3/227) Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (no. 7739) Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (7310), dan lainnya. Hadits ini dinilai hasan-shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam dalam Shohih At-Targhib (no. 948)]

Ibrah dan Renungan dari Hadits ini
Di dalam hadits ini terdapat beberapa faedah yang bisa menjadi ibrah dan bahan renungan bagi seorang mukmin yang ingin menambah kualitas imannya[1]. 
Diantaranya:

1.      Disyariatkannya seorang muslim menggunakan kun-yah (nama sapaan), seperti Abu Yahya (Bapaknya Yahya), Abu Muhammad (Bapaknya Muhammad), dan Ummu ‘Aisyah (Ibunya ‘Aisyah). Inilah yang disebut dengan kun-yah. Inilah yang disyariatkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bagi para sahabat. Tak heran bila sema sahabat memiliki kun-yah (nama sapaan), sebagaimana anda bisa lihat contohnya hadits-hadits dalam Riyadhush Sholihin. Pada setiap hadits-hadits itu dimulai dengan kun-yah para sahabat yang meriwayatkannya.

2.     Di dalam hadits ini terdapat keutamaan memberi makan. Ia merupakan kebiasaan yang indah yang menjadi ciri khas orang-orang Arab atas selain mereka dari kalangan umat-umat yang ada. Kemudian Islam pun datang untuk memperkuat hal itu dengan sekuat-kuatnya sebagaimana dalam hadits yang mulia ini.

Sementara itu orang-orang Eropa tidaklah mengenal kebiasaan itu dan tidaklah merasakan manisnya, kecuali orang yang memeluk Islam dari kalangan mereka, seperti orang-orang Albania dan selainnya.

Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya diantara perkara yang disesalkan bahwa kaum kita mulai terpengaruh dengan bangsa Eropa dalam metode hidup mereka, baik yang cocok dengan Islam, maupun yang menyelisihinya. Kemudian mulailah mereka (kaum muslimin) tidak memperhatikan perjamuan bagi para tamu dan tidak pula memberikan pikiran bagi hal tersebut kecuali dalam acara-acara resmi. Namun bukan itu yang kita maksudkan. Bahkan bila seorang teman muslim datang kepada kita, maka wajib bagi kita untuk membukakan baginya pintu-pintu rumah kita dan menawarkan kepadanya perjamuan. Itulah haknya atas kita selama 3 hari sebagaimana yang telah datang dalam hadits-hadits yang shahih”. [Lihat Ash-Shahihah (1/111)]

3.     Kualitas iman seseorang akan tampak pada amal-amal shalih yang ia lakukan dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab amal-amal shalih lahir dari kekuatan iman seseorang.

4.     Seseorang dilarang keras menisbahkan diri kepada suatu suku, padahal ia bukan termasuk dari kalangan mereka.

5.     Perbudakan tidaklah membuat seseorang menjadi hina bila ia menghiasi dirinya dengan amal-amal ketaatan, seperti halnya sahabat Shuhaib Ar-Rumiy -radhiyallahu anhu- .
[1] Sebagian faedah ini kami nukilkan dari As-Silsilah Ash-Shohihah (1/1/110-111) karya Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah-.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/keutamaan-memberi-makan.html#

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.